Makan malam keluarga.
.
Moodku sudah cukup baik sebelum mengantar Papa dan keluarga Jerry ke Bandara.
Tapi, malam ini aku merasa nggak senang. Entah lah. Aku seolah gak bisa bahagia, sementara Kak Afgan gak tau kisah hidupnya gimana.
Kami bisa ngumpul makan malam rame-rame, ada ibu, ada bapak. Sementara dia pasti makan sendirian.
Aku melihat Pak Erte yang wajahnya sumringah banget. Berkumpul dengan anak dan menantu beserta cucu tentu impiannya selama ini. Tapi dia lupa bahwa dia sudah menghancurkan impian orang lain.
"Pernah ya, dia merajuk gara-gara mereka berdua berdebat. Sampe nangis pul_"
Huek!
Aku menutup mulutku menahan untuk gak muntah di meja makan. Seketika mereka semua berhenti tertawa, menatapku.
Aku berlari ke tempat cuci piring diikuti ibu yang menggosok-gosok tengkukku.
"Pake minyak kayu putih Lucca" kata Kak Rahima.
"Ini masuk angin apa kamu hamil?"
Deg!
"Gak mungkin hamil kan?, masa 3 hari udah jadi?. Kalian gak ngapa-ngapain kan di rumah kos Jerry?"
Aku berbalik, bersandar pada tempat cuci piring, menatap mereka yang duduk di meja makan, bengong. Termasuk Jerry yang sepertinya di tatap angker Pak Erte.
"Mau ngapa-ngapain juga, sekarang udah halal" kataku sebelum meninggalkan mereka yang berselisih jalan dengan Kak Rahima yang datang membawa minyak angin Lucca, gak tau apa-apa.
Aku benci situasi ini.
Sebaiknya aku ngomong ke Jerry secepatnya.
Suara pintu dibuka, lalu di tutup. Itu pasti Jerry. Aku mengabaikan dia dan masih berbaring membelakanginya.
"Apa ini?" tanyanya. Intonasi suaranya jelas dia gak senang dengan apa yang aku lakukan. "Hamil?, ngapa-ngapain aja belom. Im kamu gak sedang berusaha membuat Pak Erte marah kan?. Kamu sengaja kan pura-pura mual biar mereka kira kita ada melakukan sesuatu di kosan?. Kamu gak lihat gimana tatapan Pak Erte sama aku tadi. Ini bukan lelucon yang lucu"
"Im" Dia menaiki kasur lalu menarik tubuhku agar menghadap ke arahnya.
"Biarkan aku tidur dulu ya?"
"Im, wajahmu pucat begini" dia menggosok-gosok pipiku yang terasa dingin. Lalu mengambil minyak angin -Lucca- di tanganku, menggosok tengkukku. "Masih mual?"
Aku mengangguk. "Kalo di bawa tidur agak mendingan"
"Tidurlah" dia bersandar pada tumpukan bantal sambil masih mengurut tengkukku. "Maaf, aku kira kamu bercanda soal tadi"
Aku memeluk pinggangnya. "Koh"
"Manggil kokoh pasti ada maunya" katanya mengelus rambutku yang pendek.
Aku tersenyum, lalu gak bicara lagi.
"Berbaikanlah sama Pak Erte. Gak baik begitu. Jangan sampai karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Coba kamu bayangkan baiknya Pak Erte selama ini"
"Im?"
"Pengen refreshing"
"Ini aja masih sakit, mau refreshing"
"Koh"
"Hm"
Aku gak menyahut lagi hingga ia memutuskan untuk rebahan, sejajar denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Raim : My Unfavorite Lecturer ✔️
RandomSecond story Miss Raim and Her Brondong. Mencintai dan membenci secara bersamaan itu menyakitkan. Terlebih bila harus menahan cemburu.