45. Keputusan

1.7K 176 4
                                    

Seharusnya tempat ini menyenangkan. Tapi moodku benar-benar gak baik saat ini. Aku fikir setelah dia memberikan pelukan penenang itu dia kan minta maaf karena telah mengataiku materialistis dan takut miskin. Semua omongannya gak jelas, gak aku mengerti. Dia bersikap seolah gak ada kejadiaan apa-apa malam itu. Padahal_

Ah, lihatlah Ce Ayin dan Linda serta teman-temannya yang glamour itu. Gaun mereka ku taksir seharga jutaan dan puluhan juta. Di tempat lain Jerry dan Papa asik bercerita.Aku mau pulang. Apa untungnya aku ada disini. Gak untukku bahkan untuk mereka.

"Mau kemana kau?" itu suara Ce Ayin. Ia agak kesusahan untuk melangkah karena gaunnya kepanjangan mengepel lantai karpet.

"Ke bawah" Jawabku.

Dia menatapku dari atas ke bawah. "Aku fikir kau akan kabur seperti cinderella dan meninggalkan sebelah sepatumu. Haha, Sayangnya cinderella lebih beruntung sempat menghabiskan malamnya di pesta dengan pangeran, lalu kau?"

Aih, berhentilah mengomel terus dan membuat kesabaranku menipis!. "Terserah Ce Ayin deh. Bukannya ini yang Cece inginkan?"

"Aku?, tentu saja. Beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini memang membuatku senang"

Dia senang membuat hubungan aku dan adiknya berantakan?. "Baguslah"

"Masuklah, jangan membuat sesuatu yang akan menimbulkan masalah bagi keluarga"

Aku?. Dia berfikir aku se bodoh itu akan mempermalukan keluarganya. Keluar dari pesta ini apa se-kriminal itu?. Pembuat onar keluarga?. Oke, Lihat masalah apa yang bisa aku buat ke keluarga kalian!!.

"Apa pentingnya Im ada di pesta ini?. Gak ada. Cece tau itu. Satu-satunya tujuan Im datang ke Medan untuk melihat apakah Cece sudah menepati janji Cece"

"Naif banget deh. Kau bisa lakukan hal lain yang tak semua orang bisa lakukan disini selain mengawasi kami berdua. Janji itu sudah ku lakukan, bagaimana bisa kau bilang aku gak menepatinya sementara sebelumnya kau gak tau bagaimana hubungan kami"

Ah, bodoh. Aku terlalu berharap banyak. Hubungan mereka sebelum mama meninggal mungkin saja gak beda jauh dengan ketika mereka perang dingin masalah kematian mama dan warisan. Aku merasa aku telah di bohongi. Jika beberapa bulan sebelumnya aku tau hal ini aku gak akan membujuk Jerry untuk kemari dan membuatnya berfikir bahwa aku takut hidup miskin.

Baik, kalau seperti itu untuk apa aku ada disini?.

Aku meninggalkannya tanpa basa-basi lagi. Aku kesal, Aku sakit hati, Aku ingin marah, aku ingin menangis!.

"Hei Im" Panggilnya lagi.

Apa lagi sih?. Aku berbalik ke arahnya menahan untuk gak menangis saat ini juga.

"Ah, Pliss deh. Kau membuatku lupa" dia menyusulku sambil merogoh isi tasnya. "Mereka bilang pipiku bengkak, tidak bisakah kau buat pipiku lebih tirus lagi?"

"Cece Cuma butuh percaya diri. Seperti ini sudah cantik jangan dengar kata orang" tapi tetap ngambil contour stik miliknya.

"Tepi-tepi dulu" Dia menarikku menuju ujung ruangan menuju tangga darurat. "Cepat ya?"

Aku memperbaiki shading diwajahnya yang terlihat memudar. Ini pasti karena kebanyakan cipika cipiki.

"Thankyou ya" ucapnya disela aku memperbaiki riasannya.

"Anggap aja ini sisi baiknya punya ipar seperti Im. Itu juga kalo Cece nganggap"

"Bukan" bantahnya "Lipstiknya tambahin"

"Lalu?" dia minta maaf untuk apa?.

"Untuk jadi wali Xander. Ah, anak itu tertutup banget tiba-tiba dapat kabar dia memukul temannya. Dia ada bilang sesuatu padamu?. Kata Japri kalian jalan sepulang sekolah"

Miss Raim : My Unfavorite Lecturer ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang