"Sampenya mau Isya juga" aku mengambil plastik isi pakaian basah sebelum keluar mobil. "Sampe sini aja Koh, kenapa maju lagi?" tanyaku melihat pagar rumah yang semakin dekat.
"Mau ketemu sama Pak Erte. Gak boleh?" tanyanya memperbaiki kacamata.
Dia mau cari mati?. "Terserah deh" aku keluar dari mobil, memasuki rumah.
"Assalamualaikum" ucapku. Gak ada orang.
"Waalaikum Salam" sahut Pak Erte keluar dari ruang solat. "Lah, anak gadis?, itu baju siapa?. Kebiasaan lagi ya?. Ck!"
"Tadi sore Im jatuh ke bak semen Pak Erte. Makanya dipinjamin baju sama kokoh"
"Kokoh?, kokoh siapa?" Pak Erte celingak-celinguk.
"Lihat sendiri deh. Im mau dandan, Kak Afgan bentar lagi jemput" aku meninggalkannya. Sebenarnya aku menghindari untuk gak mendengar Jerry kena omel Pak Erte. Kasian liatnya.
"Assalamualaikum" ucap Jerry hingga aku yang ingin masuk ke kamar terhenti.
"Waalaikum Salam" sahut Pak Erte kedua kalinya dan biarkan Jerry menciun tangannya. "Lah, baru pulang?. Jadi Im pulang sama kamu?"
Pulang?
"Maaf pak, gak bawa apa-apa dari Medan"
"Ah, gak apa-apa" Pak Erte menepuk punggungnya. "Duduk, ibu di dapur lagi masak, suruh buat banyak ada kamu"
Ih, mereka masih seakrab ini?.
Aku menatap Jerry yang berdiri, berjalan melintasiku ke dapur. Dia seolah anak Pak Erte dan Ibu yang datang berkunjung. Apa mereka lupa apa yang di buat Jerry padaku selama ini kelewatan?.
Uh, terserah deh!.
Aku masuk, langsung membanting pintu. Gak terima, enak banget dia dengan mudahnya di maafin Pak Erte. Padahal dulu katanya mau di celupin ke Sungai Batanghari.
Sebal!.
🍁🍁🍁
Nonton Dilan jadi ingat masa SMA. 😆 Meski orangnya ada disini, rasanya pengen diulang lagi. Di boncengin Kak Afgan pulang sekolah, diantarin ke kelas, dibeliin minum pas olahraga.
Andai sambutan Pak Erte sebaik sekarang. Mungkin dulu Kak Afgan gak jauhi aku karena permintaan Pak Erte.
"Kak" aku menariknya hingga ia berhenti berjalan setelah kami selesai menonton.
"Ya?"
Aku menatap deretan tempat tidur yang terpajang di WTC. "Kalo kakak suka yang mana?"
"Kasur?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Dia tersenyum sambil melihat tempat tidur king size itu. "Spring Bed ya?" dia menekan kasur itu. "Kalo iya, gak enak. Kadang ada yang kualitas gak bagus, pernya kerasa"
Aku mengangguk. Aku juga gak suka yang pake per. Makanya kasur di kamar khas beli di Batam.
"Kalo dari warna?"
"Hitam, lebih keren" tunjuknya. "Kalo Im?"
"Hitam bagus juga. Tapi hitam yang disebelahnya, kayak kayu gitu"
Dia mengangguk "Jadi, hantarannya yang itu?"
Hah?
"Nggak, apaan ih. Kan cuma nanya doang"
Dia tersenyum simpul. "Kalo yang hitam langsung ada lemarinya sana" tunjuknya ke arah kiri dimana beberapa lemari terpajang.
Itu Kak Jaya?.
Dia melihatku. Aduh, gak enak banget kan kalo lagi jalan sama Kak Afgan. Dia melangkah kearah kami. Aku harus bagaimana?.
"Hayoo, ngapain kesini?" tanyanya mendekati kami.
"Nggak ada, kebetulan lewat aja" aku menyalaminya, cium tangan kayak salaman sama master.
Dia melirik Kak Afgan, lalu menatapku. Kak Afgan mengulurkan tangan kepadanya,disambut olehnya.
"Baru?" tanya Kak Jaya menatapku.
Deh, senyum gak enak banget. Dulu aku buat keputusan untuk putuskan hubungan kami karena aku masih mencintai Jerry. Tapi, dia malah melihatku bersama Kak Afgan kini. Dia gak tau apa yang telah terjadi setelah itu.
"Kak Jaya ngapain kesini?, sama siapa?"
"Sama Yuni, Mama juga. Cuma lagi di bawah" jelasnya.
"Itu?" aku melirik cewek berbaju merah yang melihat-lihat lemari.
Kak Jaya tersenyum "Bulan depan insyaallah kakak nikah" dia mengelus pucuk kepalaku. "Doain moga lancar ya?"
Aku melirik Kak Afgan yang biasa saja melihat perlakuan Kak Jaya.
"Datang, ajak pacarmu" katanya melirik Afgan "Siapa namanya?"
"Afgan" jawab Kak Afgan ramah.
"Gan, Im ini gak suka di PHPin. Kalo buat janji harus ditepati. Lebih baik bilang tidak daripada iya tapi gak di tepati"
Kak Afgan tersenyum hingga dagunya lancip. "Insyaallah bang" dia menatapku yang kurasa pipiku udah memerah.
Syukur kalo Kak Jaya sudah temukan jodohnya. Kalo nggak, aku pasti merasa bersalah. "Dia" aku melirik cewek itu yang berjalan kearah kami.
"Anak teman Mama. Di Jodohin sih. Tapi, ternyata dulu kami pernah dekat waktu SMA. CLBK gitulah" ceritanya tertawa.
Uh, kayak aku banget deh. 😆
Aku menyalami cewek berbaju merah itu. Cantik ih, cocok banget deh sama Kak Jaya yang ada godek-godeknya.
"Ini dek, yang abang rekomend untuk jadi WO" Kata kak Jaya merangkul ceweknya.
Uh, Panggilannya udah abang adek gitu. Pengen cepat nyusul rasanya.
"Yang waktu nikahan Kak Fatimah itu ya?" tanyanya.
"Iya" jawabnya "Bagaimana Im?, bisa?" tanya Kak Jaya.
Aku menatap Kak Afgan yang mengisyaratkan untuk bilang Ya. "Im tanyain Kak Rahima ya. Soalnya dia yang punya barang. Im cuma tukang makeup doang"
Mereka mengangguk
"Nanti sambil tanyain mama dulu lah bang" kata ceweknya Kak Jaya.
"Oh, kalian kalo mau jalan lanjut aja. Ahahaha" Kak Jaya memberi kode ke Afgan. "Gangguin aja orang ya kita"
"Duluan bang" kata Kak Afgan.
"Hmm, cepat nyusul yaa" katanya sebelum kami pergi.
"Sepupu Im?" tanya kak Afgan.
Nih ya kalo cowok udah nanya gini berarti dia peduli, kalo nggak dia udah was-was menuju cemburu. 😄
"Abangnya teman, Si Yuni" jelasku "Sebenarnya dia mantan Im sih. Eh, gak mantan lah kayaknya. Soalnya gak pacaran. Tapi dia itu super care, keluarganya juga. Cuma karena dekat, sempat mau dilamarin sama Mama Ina. Gak jodoh, yaa" aku mengangkat bahu.
"Kenapa?, kamu gak mau?. Atau dia?"
Aku menghentikan langkahku. Menatapnya serius "Menurut Im, menikah itu harus sama-sama cinta. Jadi, apapun kekurangannya bisa diterima"
Dia tersenyum "Kakak gak mau janji. Semua Allah yang takdirkan. Tapi kakak berharap yaa, inilah yang terakhir"
Aku mengernyitkan dahi "Apa yang terakhir?"
Dia senyum-senyum dan langsung ninggalin aku. Ih, ngomong gak jelas. Aku menyusulnya setengah berlari.
"Kak, kok kayak anak SMP kasmaran. Pipinya merah" aku meledek.
"Ye, apaan merah" dia tertawa mencubit pipiku.
"Yang terakhir maksudnya tadi itu, Im ya?"
Dia berhenti melangkah. Lalu memberikan sebuah anggukan.
"Kak, Im juga berharap seperti itu"
🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Raim : My Unfavorite Lecturer ✔️
RastgeleSecond story Miss Raim and Her Brondong. Mencintai dan membenci secara bersamaan itu menyakitkan. Terlebih bila harus menahan cemburu.