"Im, Kau tau. Istri emang seharusnya ikut kemana suami. Lagi pula, gak ada ruginya tinggal di Medan. Masa depan kalian lebih baik daripada tinggal di Jambi. Kau tak perlu jadi penata rias pengantin lagi, kau tidak perlu kuliah untuk mendapatkan gelar agar di pandang orang. Toh saat ini statusmu sebagai nyonya besar disana. Udah, di nyaman-nyamanin aja. Pertama-tama memang begitu""Jun. Ini bukan tentang harta, bukan tahta. Aku gak nyaman disini.. aku gak nyaman. Jerry gak seperti dulu dia bahkan menyimpan banyak hal dariku. Aku udah kayak patung pajangannya tau gak?"
"Perasaanmu aja kali. Coba kau fikir. Kalau kau tinggalkan Jerry, si Linda bakal leluasa mendekatinya. Suamimu itu Horang kaya loh, Ganteng pula. Jadi rebutan dia. Trus kau bakal menyesal kayak dulu-dulu. Mau?"
"Ih, Kok Kamu jahat Jun. Temanmu sebenarnya aku apa Jerry sih?"
"Ya, makanya. Aku Cuma batu kau mikir. Masalah rumah tangga itu lebih ribet dari ketika kau pacaran. Tapi untungnya karena sudah menikah dan satu rumah,, kesempatan memperbaikinya lebih mudah. Kau harusnya belajar dari masalahku dulu"
"Aku mau pulang biar Jerry merasa kehilangan trus nyusulin aku dan minta maaf"
"Kau fikir semua laki-laki mau melakukan itu?. Ini realita Im, bukan drama India"
"Jadi aku harus bagaimana?"
"Katakan saja padanya apa yang tidak kau sukai darinya. Terus terang lebih baik. Dia pasti mengerti. Dari pada kau pulang, minta jemput Pak Erte masalahnya bakal lebih gawat lagi. Kau mau Jerry di sleding sama Pak Erte?. Kau juga pasti akan kena marah habis-habisan sama Pak Erte"
"Kalo dia gak mau dengar?"
"Kau bahkan belum coba"
"Iyaa.. iyaa.. aku coba"
Aish!
Kalo gini aku gak bakal bisa pulang.
"Siapa yang nelpon?" Tanya Jerry yang baru masuk kamar setelah tadi diajak Papa berbincang di teras.
"Jun"
"Oo" Dia merebahkan tubuhnya di kasur, meletak kepalanya di pangkuanku "Ada apa?"
Aku menggeleng. Apa ini saatnya menyampaikan uneg-unegnya?. Apa gak apa-apa?. Tapi kalo bukan sekarang kapan lagi. Mumpung dia gak sibuk dan terlihat capek seperti biasanya.
"Jerry"
"Hmm" Dia meletak hapenya di dada lalu menatapku "Ada apa?"
"Apa kamu sudah berbaikan dengan Ce Ayin?"
"Kenapa tanya seperti itu?"
"Nggak, kita kan udah lama disini, seharusnya kalian sudah lebih baik daripada sebelumnya"
"Ya, lumayanlah. Kebetulan juga moodnya sedang baik akhir-akhir ini makanya dia gak uring-uringan" jelasnya. "Apa dia masih suka bicara ketus denganmu?. Sayang, jangan ladeni dia, Jangan diambil hati ya?"
Satu-satunya yang bikin aku gak nyaman itu kamu.
"Jerry"
Dia tersenyum "Ya Nona?" menggenggam tanganku, mengecupnya.
"Apa alasanmu menikah?"
"Apa ya?" dia menatap langit-langit kamar. "Dulu sih, mikirnya menikah ya menikah. Gak ada alasan, sama aja kayak orang lain menikah dan itu bagian dari proses hidup. Menikah, punya anak, punya cucu, berdua hingga tua. Tapi ketika aku memutuskan akan menikah dengamu, aku tau benar apa yang ku fikir. Aku, ingin memiliki kamu. Aku ingin proses-proses itu terjadi bareng kamu. Aku sebenarnya bukan orang yang suka menghayal, tapi sejak saat kamu menanyakan rumah impian dan rumah impianmu bersamaku, itu seru. Hahaha"
"Lalu, apa ini impianmu?"
"Ya.."
"Jerry"
"Kenapa wajahmu terlihat kalut seperti itu?"
"Apa seperti ini yang mama rasakan?"
"Hah?"
Aku gak ingin menatap matanya. Aku harus mengatakan semua tanpa takut menyakiti perasaannya. Ini hanya uneg-uneg saja kan?.
"Kamu pernah cerita, bahwa Papa gak punya waktu banyak untuk mama dan kalian. Kalian gak dekat dengan Papa bahkan ketika mama meninggal. Apakah rasa kesepian mama seperti ini?. Jujur, aku belum siap untuk ini, aku berfikir banyak hal. Dan aku masih kecewa padamu yang menganggap aku takut miskin karena rumah itu akan diambil. Aku_"
"Sebentar sayang" dia bangun mengambil hapenya yang berdering sejak tadi. "Ya, Man?". Dia mengodeku untuk menunggunya yang buru-buru keluar.
Ya!, keluarlah!. Pergilah kemana kau mau pergi!!.
Kau bahkan lebih mementingkan urusan perusahaan daripada aku.
Kapan kita punya waktu untuk berbicara seperti tadi?. Gak ada, gak akan ada lagi!!
Huuu~ Pak Erte Im mau pulaang...@@@
Sayang
Aku fikir kamu bohong tentang alasanmu menikahiku. Gak akan ada proses yang kita lalui jika seperti ini terus. Entah kenapa aku berempati menjadi mama. Dia pasti hebat karena aku gak sanggup dengan ini semua. Aku menyerah. Aku berusaha untuk betah, tapi aku gak bisa. Aku berusaha untuk lupa, aku juga gak bisa. Aku pasti istri terburuk di dunia karena meninggalkanmu seperi ini. Aku ingin kita pulang, aku ingin kita kayak dulu lagi. Aku mau kamu yang dulu.
Aku takut. Bukan karena Linda atau wanita lain punya kemungkinan untuk mendekatimu. Bukan juga sikap ketus Ce Ayin padaku. Aku takut pada dirimu yang sekarang. Kamu bahkan gak minta maaf karena telah mengataiku takut miskin, aku gak serendah itu. Kamu bilang kamu kacewa, aku yang lebih kecewa karena suamiku sendiri menuduhku seperti itu. Kamu bahkan gak punya waktu untuk sekedar mendengarkan aku.
Sayang, apa kamu pernah merasa tiap detik waktu itu berharga?. Jika tuhan takdirkan kita bersama untuk 40 tahun, maka kamu sudah habiskan setengahnya untuk bekerja, sisanya melihatku, mendengar beberapa kalimat dariku, memelukku. Itu saja. 40 tahun kita tidak akan cukup untuk berbicara dari hati kehati. Kita bisa saja saling memiliki, tapi bagaimana dengan hati kita?.
Padahal, sebelum ke Medan aku sudah berfikir seandainya kita memiliki seorang anak atau kembar mungkin. Lalu, setelah kejadian ini, aku berfikir lagi. Cukup aku saja mengalami ini, aku gak mau ada Jerry kecil lainnya yang hidupnya kesepian. Terus terang, ini bukan keluarga impianku.
Jangan susul aku. Jangan lakukan itu jika kelak kejadiannya akan sama seperti sekarang. Kalau benar versiku adalah salah versimu, biarkan sejenak aku berfikir dimana salahku hingga aku harus mengalami ini. Jaga dirimu baik-baik. Jangan minum-minum lagi. Aku menyayangimu.
Aku pasti akan sangat merindukanmu sayang.
RS
🍁🍁🍁
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Raim : My Unfavorite Lecturer ✔️
AcakSecond story Miss Raim and Her Brondong. Mencintai dan membenci secara bersamaan itu menyakitkan. Terlebih bila harus menahan cemburu.