"Mau ke kantor?"
Antara bertanya atau sekedar mencari alasan untuk berbicara padaku. Papa, sepertinya mulai menurunkan egonya untuk menyapaku duluan.
Aku melihat jam tanganku, lalu melihatnya yang menanti jawabanku sambil tangannya masih menggenggam Flake yang sudah remuk untuk pakan ikan.
"Ketemu Olfie" aku tidak berniat menjelaskan panjang lebar alasan tidak ingin ke kantor.
"Siapa sakit?" tanyanya melempar flake itu ke kolam sembari mengibas-ngibaskan tangannya bekas remah. "Kamu?"
Aku?
Ya, aku yang sakit. Aku tidak sanggup melihatnya tidur selama ini. Jika ada orang yang mengatakan bahwa yang sehat akan menular sakit karena orang terdekatnya sakit, itu benar. Tapi dari pada itu, aku tidak tau dimana sakit ini akan ku obati.
"Jeje?"
Aku menatap papa yang terlihat semakin menua. Delapan puluh persen rambutnya mulai memutih. Ma, seharusnya Mama menyemirkan rambutnya.
"Cuma konsultasi kesehatan, Pa" aku menarik bibirku untuk mencairkan suasana yang selalunya terasa tidak nyaman antara kami. Aku melirik kolam ikan yang entah ikan apa aku tidak peduli "Sepertinya sudah banyak" aku berbasa-basi.
"Ya, ternyata menyenangkan juga" dia tersenyum mengambil tempat duduk di kursi kayu sambil memijat lututnya. "Papa udah uzur, tenaga udah gak fit lagi. Berdiri berapa menit aja kaki kram. Ya namanya penyakit tua, ke dokter hebat pun tidak bisa balik normal lagi"
Aku mengangguk
"Je" dia menatapku serius "Lanjutkan perjuangan Papa, Nak. Sudah saatnya kamu turun tangan di perusahaan. Ayin udah nunggu. Memang impian Papa melihat kedua anak papa meneruskan bisnis keluarga"
"Maaf Pa" aku tidak perlu berfikir panjang lagi. "Aku gak bisa, aku sudah putuskan akan tetap bekerja di Jambi" aku sudah pernah membayangkan reaksi wajah kecewanya akan seperti ini. Maafkan Jerry Pa.
"Je"
"Pa" aku menelan ludah, aku harus punya alasan lebih bagus agar dia tidak mengajakku berdebat masalah baik buruk seperti yang selalu ia lakukan. "Bukannya Papa bilang bahwa aku harus mengusahakan mimpiku sendiri?. Memang, menjadi pendidik bukan impianku dulu. Tapi, semakin ditekuni, itu lebih menarik daripada menjadi tuan besar di rumah yang disiapkan papa. Aku laki-laki pa, aku punya harga diri. Sama ketika papa ketika muda. Jadi, aku rasa papa bisa mengerti"
"Benar, tapi apa yang selama ini papa buat adalah untuk kamu, untuk kalian. Kalau tidak diteruskan olehmu, sia-sia lah perjuangan papa membangun semua ini untuk kalian"
"Ada Ce Ayin. Serahkan semua padanya dan suaminya. Mereka lebih handal mengurusnya daripada aku"
"Anak papa bukan cuma Ayin, Je. Kamu juga"
"Pa, menjadi CEO bukan impianku. Bukan duniaku" aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi seperti Papa. Pengusaha sukses yang punya segalanya tapi tidak punya banyak waktu untuk keluarganya. "Bahkan, menikah dengan Linda bukan inginku"
"Apa maksudnya bukan Inginmu?, kamu sendiri yang menyetujui perjodohan itu dan meminta langsung tunangan"
"Aku sadar salah mengambil keputusan Pa. Tapi mengetahui sekarang lebih baik sebelum ada ikatan lebih yang nantinya akan menyakitinya"
"Je, kalian itu sudah dekat sejak kecil, apa yang salah padanya?"
Satu-satunya kesalahan Linda adalah merobohkan kepercayaan yang sudah ku bangun kokoh padanya. Meski ku susun lagi, kubuat sempurna lagi, rasanya sudah berbeda. Ikatan kami sekarang tidak lebih dari sebuah hubungan bisnis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Raim : My Unfavorite Lecturer ✔️
De TodoSecond story Miss Raim and Her Brondong. Mencintai dan membenci secara bersamaan itu menyakitkan. Terlebih bila harus menahan cemburu.