"Lo nggak mau nangis gitu, Cha?" Rara yang sedari tadi menatapku lekat jadi menyeletuk.
Sejak kabar itu diperkirakan delapan puluh persen benar, aku kehilangan mood untuk melakukan apapun. Seolah apapun yang akan aku lakukan nantinya serba salah.
Astaga, Nanda, kamu punya efek sebesar ini buat gue.
'Nanda jadian sama Enji'
Hanya hal itu yang terus berputar di kepalaku. Memenuhi setiap sudut memori di otakku, sekaligus melukai setiap inci perasaanku.
"Udah, nangis aja gih. Ngga usah malu," sekarang Rara tambah menyeletuk. Apa dia tidak tahu kalau sahabatnya ini benar-benar sedang galau?
"Dih. Nggak caya lo? Menurut penelitian, ngungkapin perasaan lewat nangis itu bisa bikin kita tenang, Cha." Lanjut Rara.
Riza menatap Rara garang, "Dasar lo sok tau,"
"Ih, gue baca di www--"
"Hiii. Kalian tuh ya, plis deh dugong beranak sama ketek bekantan nggak usah bikin gue tambah pusing." Aku jadi sinis menanggapi mereka yang justru sibuk sendiri dengan urusannya.
"Loh, katanya dua sigung nakal?" Riza masih sempat membuatku gemas. Disaat seperti ini aku lebih suka melihat mereka diam saja.
Aku menghembuskan napas, kecewa.
"Gue mundur."
Hah!
Kata-kataku barusan spontan membuat Rara dan Riza terkejut.
Aku menyingkirkan poni rambut yang menutupi keningku, "Dia punya hak buat bebas dari gue. Dia punya banyak hak. Lagian gue sapa sih? Pacarnya? Gebetannya? Sahabatnya? Pembantunya mungkin?
Gue masih waras Ra, Riz. Gue tau gue ngga termasuk di daftar urutan orang-orang penting buat dia. Status gue dimatanya ya gitu-gitu aja, temen kelas titik. Dan kabar baiknya buat dia, hari ini gue nyerah. Gue mau lepas dari semuanya."
Mendengar ucapanku tadi, Rara jadi berdiri memberiku tepukan tangan meriah yang mengundang beberapa pasang mata untuk melihat kami. Kali ini kami ada di toilet baru sekolah yang sedang viral karena katanya mirip toilet di drama Korea. Ck.
Rara yang sudah selesai bertepuk tangan sekarang menyudutkanku, "Kenapa? Karena elo pikir dia udah jadian sama Enji? Lo pikir elo udah hebat gitu, cuma sekedar nulis-nulis di memo hape atau diary gak jelas?
Lo mental tempe bre! Ngode aja gak becus. Sekarang lo mau nyerah? Geble banget lo, nyet. Saran gue sih yah, nggak usah suka-sukaan kalo akhirnya gini, bego!"
Aku jadi menunduk, hatiku yang tadinya biru beku seketika menghangat mendengar ucapan Rara barusan.
"Lo nggak boleh nyerah!" Riza menyemangatiku galak.
Ada segaris senyum tipis di wajahku. Aku baru sadar punya teman-teman sebaik mereka. Yang walaupun kadang memperumit keadaan tapi mereka jugalah yang membuat semangatku terbakar lagi.
Apa aku harus menyerah untukmu, Nan?
Aku menatap kedua sahabatku lekat sambil tersenyum manis, "Ada hal lain yang lebih layak buat gue perjuangin oy. Bukan cuma sekedar ngode dia, hehe."
Rara dan Riza jadi sama-sama menatapku cemas, mereka memelukku erat. Aku balas memeluk mereka.
Dan tentu saja senyum tadi palsu, aku tidak benar-benar sedang ingin tersenyum sekarang.
Harapanku hancur. Dan Nanda jadi tersangka utamanya.
***
Bang Nanda jangan gitu dong bang...
Vote commentnya guys...
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kau [END]
Teen FictionKalau cinta ini selamanya tak bisa tersampaikan, maka biarlah! Kurasa aku akan terbiasa dengan rasa sakitnya "cinta diam-diam." On Going juga : Jangan Hujan -nb : cover sources by pinterest