33. Bocah Random

27 5 22
                                        

Seringkali aku pergi,
Seringkali aku letih
Untuk esok kemudian kembali lagi.
Entahlah, sepertinya kau rumah.

"Hahahahahahahaha... sumpah gue ngakak!!" Riza memukul-mukul meja cafe heboh, tidak peduli orang-orang yang menatapnya ngeri.

"Eh, yang ini lebih ngakak hahahahahahaha!!" Kali ini tertawanya sudah sampai ke langit-langit cafe. Ok, aku malu sekarang!

Ting!

Bunyi pintu cafe terdengar, menandakan ada orang yang memasuki ruang minimalis di tengah kota ini. Itu Rara dan Alan ternyata.

Aku segera melambai, menyuruh mereka duduk bersama kami.

Baru saja mereka duduk, Riza sudah tertawa lagi, "Eh, lu nyeritain Nanda seganteng ini? Parah lu bocah! Hahahahahahah!!"

Rara memasang muka datar, juga Alan. Mereka tidak tahu situasinya. Dan barangkali kalian juga tidak tahu ya? Oh, biar aku jelaskan. Sejak pulang sekolah tadi, aku dan Riza sudah stand by di Owl Cafe dekat rumah Riza. Cafe penuh ornamen burung hantu, favorit Nanda sebenarnya. Kami mau membahas sesuatu, sidang mendadak! Tapi, karena bosan menunggu Rara dan Alan, aku jadi sibuk sendiri. Kembali merangkai kalimat-kalimat sensitif tentang kamu, Nanda.

Dan parahnya, seperti yang kalian bisa tebak. Riza merampas buku diary ungu itu, membaca lembarannya. Lantas tertawa karena kalimat-kalimat sentimentil itu.

"Eh, Lan, lihat nih!"

Selamat sore, Nanda.

"Sore juga, Icha... Hahahahaha!!" Riza tertawa lagi, kali ini sambil membacakan diary itu keras-keras.

Tadi pagi pohon mangga depan rumahku mulai berbunga, kuncupnya sewangi melati. Mendatangkan banyak kupu-kupu terbang. Kau tahu kupu-kupu? Filosofi yang indah bukan? Di mitologi Jerman-Skandinavia elf, roh udara, digambarkan sebagai pria atau wanita kecil yang cantik dengan sayap kupu-kupu. Mereka dianugerahi hidup abadi dan sihir.

Aku jadi membayangkan. Andai aku diberi hidup abadi, apa aku akan terus menyukaimu seperti ini. Atau justru besok atau lusa aku tiba-tiba sudah melupakanmu? Aku tidak tahu.

Oh ya, aku juga berfikir, seandainya aku hidup abadi tapi kamu tidak, kan percuma juga ya? Hehe.

"Iya, cha percuma. Tapi aku ngakak sumpah!" Riza lagi-lagi terbahak, kali ini Alan dan Rara juga ikutan.

"Sejak kapan lo nulis-nulis kaya gini, Cha?" Rara menarik nafas.

"Nggak tau," jawabku seadanya, jujur saja aku memang tidak tahu.

Riza lanjut membaca.

Tapi kata orang, jangan terlalu banyak berandai-andai. Jangan suka kepalsuan dalam angan, karena sejatinya biar setinggi apapun kamu berharap, kalau itu tidak ditakdirkan terjadi. Ya, maka tidak jadi. Gitu katanya.

Tapi, menurutku engga Nan. Inget Soekarno dulu, 'Bermimpilah setinggi langit, jika kau jatuh. Kau akan jatuh diantara bintang-bintang,' begitu kan katanya. Jadi biarin hari ini aku mimpiin tinggi-tinggi tentang kamu ya, sapa tau jatohnya nggak jauh-jauh kan ya, hehe.

Riza kali ini diam, tidak lanjut membaca. Ia menutup buku diary unguku itu. Ia mengembuskan nafas kasar, punggungnya bersandar di kursi cafe.

"Nggak lucu!" Katanya datar, entah apa yang ia maksud, bukankah barusan ia tertawa terbahak karena menganggap semua itu lucu? Apa ini? Berubah seratus delapan puluh derajat.

"Sidangnya tunda deh," lanjut Riza lagi, kali ini sambil memanggil pelayan cafe.

"Matcha latte ice satu, Kak." Kata Riza menyebutkan minuman favoritnya.

"Tiramisu coffe," Itu Alan, dia yang bingung jadi ikutan memesan.

"Gue milk tea aja deh," kataku ikutan, "Eh, mau milk tea juga!" Rara menyahut.

Setelah pelayan itu pergi membuatkan pesanan kami, Riza menatapku nanar, juga menatap Alan dan Rara bergantian.

"Challenge yuk!" Kata Riza semangat kali ini.

Kami bertiga bingung lagi. Ini kenapa sih bocah satu random banget?

"Sehari nggak boleh ngomongin cowok, nggak boleh ngomong sama cowok, pokoknya apa pun yang berhubungan sama cowok nggak boleh. Deal, nggak pake nego!"

Kami bengong, saling pandang. Apa faedahnya melakukan ini?

Riza tersenyum senang, padahal kami tidak bilang setuju ataupun menolak, "Jam delapan pagi besok dimulai! Oh ya, yang kalah traktir es jelly mamak kantin!"

"Eh, udah sore, gue duluan!" Lanjutnya, Riza pergi. Baru sepuluh meter, ia kembali lagi.

"Apaan bocah?" Rara bersungut-sungut, masih tidak mengerti dengan tingkah random Riza.

Riza hanya nyengir, "Matchanya ketinggalan,"

Aku dan Alan refleks menepuk jidat, Rara juga mangap begitu saja.

Tapi, ini jelas bukan Riza yang biasanya. Memangnya ada apa di bukuku sampai dia jadi random begini? Apa aku melupakan sesuatu? Ah, sudahlah, setidaknya besok ada hal yang kunantikan. Belajar sehari tanpa sekalipun menyebutmu. Ini sungguh hal baru!

***

A/n : Jadi yang salah bukunya apa Rizanya ya?
Oh yaaa sponsor kali ini by : es jelly mamak kantin, fav bener dah kagak bohong!! Kalo mau tau mampir ya ke SMA ku. Dimana? Dimana yaa... hehe

Setelah Kau [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang