25. Game Over

20 5 4
                                    

Di game pertama ini kita diberi satu kesempatan bebas untuk menanyai couple kita. Tentang apapun itu.

"Why do you love me?" Rara yang menanyakan itu pada Satya. Gila! Semua orang memperhatikan mereka. Pertanyaan super itu ia tunjukkan pada Satya?

Awalnya Satya hanya diam, ia menundukkan kepalanya dalam, terlihat gusar. Rara seperti biasanya, dingin, bermuka datar.

"Why do you love me?" Rara menanyakan hal itu sekali lagi.

Satya kini menatap Rara, mengatakan dengan mantap, "I have no reason to love you, my angel."

"Sure. Bener-bener nggak ada alasan yang pas buat ngungkapin betapa sukanya aku ke kamu." Tambahnya manis. Aih, ini pernyataan cinta ke 13 nya? Live!

Giliran Rara yang menunduk, ia menelan ludah dalam. Entahlah seperti apa perasaannya sekarang, ia berlari ke arah kamar mandi rumah Alanda. Sementara Satya? Ia tersenyum, senyum yang dipaksakan sekali. Mungkin baginya ada perasaan senang dan lega, dan mungkin sebagian lagi kecewa Rara pergi begitu saja.

Lain lagi dengan Riza, dari tadi dia hanya diam memandang Adnan. Tidak bertanya apapun. Baginya, bersama Adnan sedekat ini sudah cukup. Ia tak ingin apapun lagi. Adnan yang bertanya lebih dulu. "Nama lo siapa ya kalo boleh tau?" What!! What de-!!! Dia bahkan tidak tahu nama Riza?!! Ngakak dosah kagak?

Riza terduduk lemas, terkejut sekaligus kecewa. Bagaimana mungkin Adnan tidak tahu dia? Lalu, pendekatannya selama ini apa? Saat di parkiran tempo lalu misalnya, Adnan membantunya memarkir motor. Itu apa namanya? Riza meninggalkan Adnan dengan perasaan campur aduk, berlari menyusul Rara. Ya sudah, dua anak sigung itu pasti sama-sama sedang menangis sekarang.

Sementara aku? Kesempatan emas untuk tahu hubungan kamu dengan Enji atau Alan terbuang sudah. Aku menghembuskan napas pelan, satu pertanyaan yang keluar dariku hanya, "Boleh gue nyusul Riza sama Rara, Nan?"

Kau mengangguk, anggukan yang amat tenang. Tak ada larangan, tak ada cegahan. Hanya begitu saja. Sekarang aku yakin, kau bahkan tak pernah menganggapku ada. Sekalipun tak pernah.

-

"Tragis banget ya nasib gue beb," Riza angkat bicara. Kami berempat sudah puas menangis di kamar mandi Alanda. Tadi Alanda menyusul kami, dan entah karena naluri atau apa dia jadi ikutan menangis. Berbagi perasaannya pada kami.

Riza meneguk ludah, "Dia bahkan nggak tahu nama gue?!" Lanjutnya sok dramatis.

"Lah gue Riz? Gue mbuang kesempatan emas buat nanyain apapun ke Nanda! Helaww, mimpi apa Icha bisa sesetiakawan inih nguberin kalian?!" Komentarku separuh bangga separuh kecewa.

Rara menatap kami, "Nggak ada satupun dari lo lo pada yang hidupnya sedramatis gue."

"Selama ini gue nggak pernah bebas milih gaes. Cinta? Orang tua gue yang sosialita bahkan udah njodohin gue sama anak sesama sosialitanya." Sambung Rara sedih.

"Wah wah, gimana Satya beb?" Kataku memotong.

"Jujur aja gue nggak bisa nyembunyiin ini lagi gaes. Gue juga suka sama dia. Gue suka tapi terpaksa nyembunyiin semua itu."

"Kenapa?" Tanya Alanda prihatin.

"Gue nggak pernah sekalipun nolak orang tua gue. Gue, gue... gue bakal nglakuin apapun buat orang tua gue walaupun itu artinya gue harus nyakitin perasaan gue sendiri." Rara kembali menangis, meratapi nasibnya itu. Ini adalah fakta penting. Kita baru tau kehidupan serba mewah Rara bisa semenyakitkan ini.

Aku menatap Rara cemas, "Say... kita ada disini. Apapun yang terjadi. Smile bebee!"

Rara tersenyum kecil. Memeluk erat kami bertiga. Jadilah kami menangis lagi. Pecah oleh masalah masing-masing.

Alanda menghembuskan napas pelan, "Gue nggak pernah ngebayangin bisa nangis kaya gini. Wow, kalian udah masuk ke hatique yang paling dalam,"

Kami tertawa sedetik kemudian karena Alanda. Dia penghibur yang baik.

"Cinta lo gimana, Lan?" Aku bertanya, sedikit ragu. Alanda tersenyum, "Gue yakin nggak semenyedihkan kisah kalian. Lain kali gue bakal cerita."

Dan begitulah, kami sepertinya sudah game over bahkan sebelum permainan itu dimulai.

Tok-tok.

Sepertinya ada seseorang mengetuk pintu kamar mandi.

Wah, bertambah sudah kegalauanku. Kenapa Bryan disini?

"Kamu nggak papa kan Cha?" Bryan cemas.

"Gue apa-apa tuh kalo ada lo!" Aku menjawabnya ketus. Rara menyikutku, iya aku memang keterlaluan mungkin.

Aku menatap Bryan yang menunduk sendu, "Maaf Bry. Makasih udah merhatiin gue."

Bryan tersenyum. Tapi sebelum Bryan sempat menanggapi kata-kataku, aku sudah pamit dari sana. Melambaikan tangan sekilas. Diikuti rombongan sigung nakal itu.

Girls time!

***

See u next time sigung sqwd!

Setelah Kau [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang