30. Penjelasan

19 7 3
                                    

"Jadi sebenernya kenapa kita marahan?" Alanda mengangkat gelas berisi es teh setengah penuh itu tinggi-tinggi, memperhatikan bagian bawah gelas yang gulanya masih mengendap. Pantesan nggak manis! Begitu sepertinya yang ia pikirkan. Dasar bocah.

Aku menghembuskan napas, meniru Alanda mengangkat gelas di hadapanku. Benar, gulanya masih mengendap disana. Bocah 2.

Oh, siang ini kami berempat berada di kantin sekolah, lagi-lagi disana karena ya seperti kalian tahu, tidak ada tempat lebih baik untuk mengobrol sambil mengisi perut.

Rara sedang memesan kebab kesukaannya, sementara Riza sejak tadi sibuk mengantri iced matcha latte favoritnya, mengomel pada siapa saja yang memotong antrian.

"Kenapa ya kita marahan?" Aku mengalihkan pandangan pada endapan gula itu sekali lagi.

"Sekarang gue sadar, kita tuh kaya filosofi es teh tau nggak? Es teh sendiri itu sebenernya udah seger, tapi entah kenapa kalo belum ketemu gula, yaa kurang aja gitu rasanya."

"Walau sebenernya susah juga nyatuin mereka pas dingin, nggak larut-larut tuh gula, sebel! Salah si mbaknya, harusnya gulanya tuh dicampur pas lagi airnya panas, eh malah pas udah dikasih es batu, bubar kan!" Sambungku sebal.

"Hn?" Alanda bingung, "Gue nanya apaan lo jawab apaan sih bocah!"

Aku menatap Alanda kali ini, "Maafin gue yang jadi air dingin sebelum lo masuk ke kehidupan gue Lan,"

"Lagi-lagi gue bodoh, nggak percaya sama lo,"

Alanda tersenyum jahil, "Jadi, gue ibarat gula nih? Manis dong,"

Ingin sebenarnya aku menjitak gadis manis itu, tapi tidak. Kali ini dia tidak butuh jitakan, hanya penjelasan.

"Gue tahu. Sejak pertama gue kenalan sama lo gue tahu lo suka Nanda, kan?"

Aku mengangguk, kemudian menggeleng. Entah apa yang aku pikirkan sebenarnya.

"Gue satu sekolah sama dia pas SD, SMP juga. Jadi ya gue kenal dia,"

Aku ber-oh pelan, mengaduk lagi es teh tak manis itu perlahan.

"Dan buat salah paham di rumah gue pas itu, tentang putus itu, sebenernya gue putus sama cowok gue di kota asal gue, Cha. Namanya Loy, dia nitip gue ke Nanda. Makanya Nanda bujuk gue buat nggak putus sama dia,"

Aku hampir saja tesedak mendengarnya.

"Gue tahu lo marah karena ini kan? Lo kira walau gue udah tahu lo suka Nanda, gue tetep nyembunyiin hubungan gue sama Nanda kan? Lo kira gue suka ke Nanda kan, Cha? Bahkan pacaran sama dia, iya kan? Riza udah kasih tahu semuanya ke gue ko, Cha. Sorry, itu cuma salah paham,"

Aku menunduk dalam, itu semua tepat, dasar Riza! "Emang, gue terlalu naif menyimpulkan sesuatu, maaf kalo boleh, kalo bisa, kalo lo mau,"

Alanda mengangguk, tentu saja.

"Yes! Boleh banget! Maka dari itu lo harus traktir gue makan siomay, ok honey?!" Kami akhirnya tertawa.

Alanda menyedot lagi es tehnya, manis. "Nah kan, walau lama, perlu waktu, tapi gulanya bisa rata juga tuh di es tehnya,"

Dia menatapku, tersenyum lagi, "Lo nggak perlu jadi air anget, ngerubah diri lo buat nerima gue, yang sama-sama kita butuhin cuma waktu, Cha. Percaya sama gue deh!"

Aku mengangguk, Alanda benar. Benar sekali.

Dan akhirnya aku menerima penjelasan itu, semua yang aku butuhkan, tentang perasaan, tentang teman baru.

"Nah, baikan juga kalian, mamah bangga nak," Rara entah sejak kapan sudah berdiri dibelakangku dan Alan, juga Riza, ia sok-sokan drama mengusap matanya.

"Tapi Lan, gimana lo bisa tahu gue suka Nanda?"

"Eh iya, dan lo bisa ngundang semua orang yang kita suka di pesta lo waktu itu. Gimana bisa gitu?" Riza menambahkan heboh.

Alanda tersenyum, kali ini amat lebar, "Oh itu...






















Rahasia,"

***

A/n : sebenernya work story ini adalah cerita tergaje, dan aku mengakuinya. Maaf untuk semuanya. Ini just cerita abal-abal yang diambil dari kisah empat sahabat dan doi-doinya di sekolahku. Merekalah pendorong kegajean ini, yak terima kasih!"

Oh, kali ini salam untuk HasnaAfaf, yang lagi sedih sepertinya. Semangat, selalu ada harapan yang lebih baik :))

Setelah Kau [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang