35. Bucin Icha

17 3 0
                                    

Hari ini seperti biasa, aku, Riza, Rara, Alan, ditambah yang baru Runi sedang bercengkrama di kursi-kursi kantin.

Fyi, tempat favoritku adalah pojok kanan yang menghadap langsung ke area tempat ibadah. Lokasi paling strategis buat modusin doi sih. Karena akhir-akhir ini Nanda entah sedang kumat apa selalu ke mushola itu pas istirahat pertama. Dan aku? Selalu jadi penontonnya.

Kenapa nggak ikutan? Karena dugong-dugong ini membawaku ke jalan maksiat. Ok, serah.

Jam sepuluh tepat seperti biasa kamu melangkahkan kaki ke mushola kecil itu, sungguh pemandangan yang menyejukkan mata.

"He! Ngalamun aja lo!" Riza memang pengganggu paling ahli.

"Oh pantes! Ngeliatin abangnya!" Tambah Rara mengompori dengan suara khas toanya itu.

Aku buru-buru menutup mulutnya dengan kentang goreng yang barusan dibeli Riza. Kan parah kalau sampai geng nyinyir Elsa mendengarnya. Sudah kubilang, kamu masih jadi rahasia terbesarku.

"Ooh, mas-mas atlet renang itu?" Tanya Runi kini antusias sambil menghabiskan jus jeruk milikku.

Bagus! Aku lupa Runi baru berteman seminggu dengan kami.

Riza, Rara, dan Alan kompak nyengir padaku. Wajah bersalah.

"Eh, anu, bukan gitu-anu-"

"Kemaren gue liat dia tuh di SN waterpark," Runi acuh saja tak ambil pusing denganku yang tengah berpikir bagaimana cara menyanggah percakapan tadi.

"Hah? Dia latian di SN?" Mataku berbinar begitu saja.

"Oh ternyata bener" Runi menunjukku sumringah, dengan cengiran mautnya.

Sebentar, itu artinya...

Dia tadi cuma ngetes?

"Udah lah nggak perlu ditutupi." Rara menengahi.

Benar, tidak ada yang perlu ditutupi. Aku menyukaimu, dan itu jelas bukan sekedar ucapan tanpa makna.

Tapi kenapa mengatakannya langsung aku tak sanggup?

Aku sering menonton film, mulai dari film lokal, barat, drakor, hingga anime. Dari semua film-film itu banyak alur yang menceritakan si cewek yang jatuh cinta pada cowok, lalu menyatakan perasaannya duluan. Tapi kenapa aku tidak bisa mempraktekannya?

Ingin sekali rasanya aku berteriak saat ini juga, "Hei, Nanda! Aku sayang kamu!" Tapi tidak mungkin. Gengsiku terlalu tinggi.

Lagipula, aku tidak pernah siap dengan kalimat maaf dan penolakan darimu. Tidak pernah siap sedikitpun.

Lalu saat lamunan dan bayangan itu terus berputar di kepalaku, aku tidak sadar sebuah tangan besar mendarat di atas kepalaku, merenggut... puk-puk ku?

Aku langsung mendongak, memperoleh bayangan seorang pria kurus disana, Afan, teman kelas yang suka sekali meminjam catatanku.

Aku terdiam, sedang mencerna baik-baik harus mengatakan apa. Puk-pukku terenggut oleh manusia kaleng ini?

Riza sudah mangap menatapku, dia paham. Aku dan Riza selalu menjaga puk-puk kami. Puk-puk itu sesuatu yang sangat berharga.

"Afaannnn!!! Ngapain lo pegang-pegang pala gue??!!"

Afan yang terkejut refleks mundur selangkah, "Hiyaampun, gue dari tadi manggil lo mau minjem catetan biologi, lo nya yang aja kagak noleh-noleh"

Aku kesal, tapi seketika bungkam saat kau lewat. Nanda yang habis sholat sunnah itu pemandangan yang sangat menyenangkan.

Kali ini aku memaafkan Afan. Cuma karena ingin melihat Nanda intens. Aku segera mengusir Afan dari hadapanku.

"Kenapa sih gue nggak sekelas sama Nanda lagi?" Kataku sudah murung lagi.

"Yaelah nih cabe masih mikirin itu aja!" Rara gemas jadi menyikutku pelan.

"Pikirin puk-puk lo tuh barusan!" Riza ikutan menyikutku.

Aku sudah tidak peduli dengan itu. "Ah, Riz. Gue sekarang tahu kenapa gue suka sama Nanda."

"Udah pernah lo ceritain kali! Pas part 'lagi-lagi Nanda'," Riza manyun memainkan sisa kentang goreng yang sangat asin itu.

Sudah kebiasaan, setiap beli kentang goreng Riza pasti nambah garem lagi ke kentangnya. Padahal yang ori aja udah asin, tapi dia suka nambahin garem lagi. Dasar pecinta garem.

"Karena lo suka dia, gitu aja kan," Alan nyinyir membuatku ikutan manyun.

"Engga, kali ini gue udah tahu jawaban yang pas,"

"Dia tuh obat buat gue. Gue kaya nemu rumah gitu yang bikin gue nyaman. Disaat gue patah hati dan nggak bisa move on dulu dari mantan gue, dari Eza, disaat banyak kabar gue sama Bryan dan Bryan marah-marah ke gue. Dia selalu bikin gue tenang dengan cuma liat mukanya,"

"Dia tuh 'nah' yang gue cari,"

"Nanda it's something sekali,"

"Ibaratnya nih ya, dia nafas aja gue seneng."

Aku panjang lebar menceritakan alasanku menyukaimu. Tapi tidak ada jawaban dari teman-teman. Kulihat Riza sudah mangap disana. Rara bahkan memegang dahiku, "nggak panas,"

Runi yang awalnya main-main kini jadi ketawa-ketiwi, "bucin banget lo ternyata,"

Rara, Riza, dan Alan refleks menertawakanku. Hebat banget ya mereka nggak sadar dirinya juga bucin.

Wajah Alan jadi serius sekarang, "Eh, bucin tuh apaan sih?"

Kami menepuk jidat. Rara bahkan sudah menepuk-nepuk meja gemas.

"Hiyaampun, my honey bany sweety, bucin itu makanan yang digoreng dari aci," jawab Riza gemas.

"Jangan membodohi teman gue lo!" Runi menengahi.

"Budak cinta, Lan" jawabku ikutan gemas.

Dengan santainya Alan hanya mengangguk. Tidak peduli banyak.

Diantara kericuhan kantin, diantara tawa-tawa yang kami buat. Mataku terus mengekor padamu, memastikan kamu baik-baik saja.

Bucin, ya, Icha bucin!

Tbc...

Setelah Kau [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang