Minggu pagi di kompleks perumahan Alanda.
"Coy, kita udah lari sampe sini apa nggak sebaiknya mampir ke rumah incess Alan dulu gitu?" Riza antusias sambil terus berjogging pagi ini.
"Boleh." Kataku menanggapi.
"Setuju. Gue nggak enak nggak ngajak dia tadi pagi. Karena gue yakin sih si incess masih bobo syantik."
Aku dan Riza mengangguk sepakat.
Aku, Rara, dan Riza memang suka berkumpul, bermain bersama. Tapi akhir-akhir ini kami disibukkan dengan persiapan ulangan akhir semester untuk kenaikan kelas. Fyi, masa-masa kelas 10 kami akan segera berakhir. Jadilah minggu ini mungkin minggu terefektif untuk bermain. Kami sudah pergi dari pagi, sebelum matahari malu-malu terbit bahkan.
Rara berlari ke persimpangan, belok ke kanan dan berhenti di sudut rumah putih besar, aku dan Riza mengikuti. Oh, itu rumahmu, Nan. Bersebrangan dengan persimpangan jalan rumah Alanda.
"Kenapa kesini Ra? Katanya mau ke rumah Alan?," tanyaku bingung.
Rara nyengir lebar, "Lempar pake batu jendelanya kayanya seru juga ya Riz,"
Riza mengacungkan jempol, setuju. Sementara aku sudah melotot jengkel, menarik lengan dua sigung itu jauh-jauh dari rumahmu.
Tapi sebelum sempat berbalik arah, sudut mataku melihat dua sosok familiar di halaman rumah Nanda. Itu kau dan... Alanda?
"Yaudah sih gue minta putus!"
"Kok gitu sih, Lan?!"
Sayup-sayup percakapan dua orang itu terdengar. Ada satu kata yang mengganjal hatiku. Putus? Nanda dan Alan?
Riza menarik lenganku cepat, "Nggak baik nguping beb,"
Aku mengikuti langkah tergesa dua sigung itu. Mataku mulai panas, "Kapan mereka pacaran?"
Riza menatap Rara, keduanya menggeleng. Tidak tahu.
"Tapi bukannya Alan udah tahu ya kalo gue suka Nanda?"
Mereka saling tatap, mengangguk kompak.
Aku menunduk dalam, lagi-lagi aku tidak tahu. Kukira semua hal tentangmu adalah duniaku. Nyatanya kau hanya angin lalu, Nan.
Langit mulai mendung, cerah tadi pagi tiba-tiba saja tergusur gumpalan awan hitam di langit sana. Biru itu telah pudar, warna favoritku sudah hilang. Diganti abu-abu kusam membekukan.
Kemudian, hujan.
Air dari langit itu tumpah tak terkendali, begitu deras sampai membuat kepalaku sakit. Rara dan Riza memintaku berteduh, tapi aku tak menghiraukan. Kupercepat langkahku. Entahlah aku menangis atau tidak. Semuanya tersamar oleh hujan.
Hatiku ngilu mendengar suara kilat di langit, namun tak menghentikan langkahku. Rara dan Riza masih setia mengikutiku di belakang. Mataku menerawang ke langit, siapa disana yang sedang menangis? Sungguh menyayat hati.
"Aih, gue lebay ya," mataku beralih kepada dua sigung itu. Mereka mengangguk, kemudian menggeleng cepat.
Kenyataan tentangmu memang menyakitkan. Namun, kenyataan tentang Alanda jauh lebih menyakitkan. Alanda selama ini menyembunyikan sesuatu sebesar itu? Bukankah dia sudah kuanggap sahabat?
Pernah nggak sih kalian suka ke orang, kalian ngerasa udah tahu semua hal tentang dia. Tapi, ternyata itu cuma sisi luarnya aja?
Dan parahnya dia pacar sahabat kalian? Pacar? Ah, aku nggak habis pikir.
Barangkali ini salah paham, semoga. Barangkali akhir cerita ini akan berbeda. Entah itu lebih baik atau lebih buruk, semoga aku bisa menerimanya.
Tapi rupanya ini belum seberapa. Beberapa hari kedepan keadaan kami bahkan jauh lebih buruk.
***
Huh? Alan-Nanda?
See u, salam Alisha.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Kau [END]
Teen FictionKalau cinta ini selamanya tak bisa tersampaikan, maka biarlah! Kurasa aku akan terbiasa dengan rasa sakitnya "cinta diam-diam." On Going juga : Jangan Hujan -nb : cover sources by pinterest