Part 21

876 56 0
                                    

Justin POV

"kau tidak menyadarinya, Justin? Aku rasa kau ini memang naif, ya kan?. Aku melakukannya karena memang untuk menghancurkan hubunganmu dengan Bella," katanya santai.

Darahku seketika mendidih. Aku baru mau menerjang Kate saat Chaz dan Ryan menahanku. Aku memberontak.

"let me go! Biarkan aku membunuh gadis sialan itu!" jeritku.

"Justin, calm yourself down! Jangan lakukan sesuatu yang akan kau sesali!," kata Chaz.

Aku kembali memberontak. Dalam pikiranku aku sudah memikirkan dua ratus cara untuk melampiaskan amarahku pada Kate. Tetapi tak bisa ku lakukan karena Chaz dan Ryan memegangi tubuhku sangat erat.

Kate tersenyum sinis padaku. "bye Justin" ujarnya sebelum melenggang pergi.

Chaz dan Ryan memojokkanku ke loker dan tetap menahanku di sana. Aku mencoba menenangkan diriku. Aku menarik nafas dalam-dalam lau menghembuskannya perlahan, menjernihkan pikiranku.

Sial, kau tahu rasanya saat kau ingin sekali membunuh seseorang? Mencabik-cabiknya hingga jutaan bagian kecil? Tetapi kau tidak bisa melakukannya?. Ya, itu menyebalkan. Sangat.

Aku diam di sana sekitar sepuluh menit, mencoba mengenyahkan pikiranku untuk melakukan sesuatu pada Kate.

"baiklah, baiklah guys. Aku baik-baik saja," kataku saat bisa menenangkan diri.

"kau yakin? Jika kami melepasmu, kau tidak akan mengejar Kate dan entah bagaimana membuatnya menabrak?" tanya Chaz polos.

Aku tertawa mendengarnya lalu mereka mulai melepaskanku.

"phew tadi hampir saja. Aku yakin jika kami tidak menahanmu, kau akan membanting Kate ke lantai dan memukulinya seperti orang kesetanan," komentar Ryan.

Aku tertawa lagi dan mendorongnya pelan. "aku lelah. Sebaiknya kita pulang. Ayo, kuantar," kataku.

Chaz dan Ryan tersenyum dan mengikutiku ke lapangan parkir.

#Isabella P.O.V#

Aku berbohong. Saat aku bilang aku tidak menyukai Justin. Itu benar-benar suatu kebohongan. Karena yang sejujurnya, aku menyukainya, sangat.com bahkan mungin mencintainya. Tapi seperti yang sudah kubilang. Aku sudah lelah dengannya dan akan berusaha mengenyahkannya dari otakku.

Aku menutup lokerku dan tersenyum melihat Taylor sudah ada di sampingku. Saat ini sudah pulang sekolah dan Taylor bilang akan mengantarkanku pulang.

"apakah kau tidak keberatan jika kita mampir ke kedai es krim?" tanyanya.

"ditraktir?" aku mengedipkan-ngedipkan mataku.

Taylor tertawa lalu mengacak-acak rambutku. "why you have to be so cute? Baiklah, aku traktir," katanya lalu menarik tanganku ke lapangan parkir.

Kami sampai di kedai es krim dan Taylor langsung keluar dari kursi kemudi. Aku baru mau mengikutinya keluar dari mobil saat dia membukakan pintunya untukku.

Aku tersipu lalu tersenyum padanya. "well, terima kasih," kataku.

Taylor tersenyum lalu menutup pintu di belakangku dan menarik tanganku masuk ke dalam kedai es krim.

"ini dia. Satu gelas es krim coklat. Kau suka coklat, kan?" Taylor meletakkan gelas berisi es krim coklat di hadapanku.

Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Well, lagi-lagi aku bohong. Aku tidak begitu suka es krim coklat. Aku selalu memesan es krim rasa biskuit dengan taburan kacang di atasnya jika pergi ke kedai es krim. Hanya Justin yang tahu es krim kesukaanku.

Aku mendesah. Aku benar-benar harus berhenti memikirkan anak itu. Maksudku, ada Taylor di hadapanku. Dia tampan, baik, manis dan semua hal yang seorang gadis inginkan dalam pacarnya. Tapi kenapa aku harus terus memikirkan Justin yang jelas-jelas sudah menyakitiku sebegini parah?

"Bella, kau baik-baik saja?" tanya Taylor.

Aku menengadah dan bertemu dengan mata Taylor yang menatapku khawatir. Mata coklat pekatnya sungguh menawan. Aku mengangguk dan tersenyum.

"aku baik, hanya pelajaran aljabar membuatku kehilangan kewarasan hari ini. Maksudku, kenapa sih si X itu harus dicari? Jika dia ingin pergi biarkan saja. Mungkin dia hanya ingin kebebasan," celotehku asal.

Taylor terbahak-bahak lalu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "kau ini benar-benar Bella," katanya lalu menyuap satu sendok es krim rasa vanilanya ke dalam mulutnya sambil menatapku lekat-lekat.

"jangan melihatku begitu, kau membuatku gugup," kataku memalingkan wajah. Aku serius, tatapannya membuatku salah tingkah.

Taylor tersenyum lalu mengelus tanganku. "kau cantik, Bella," ujarnya.

Aku merasakan pipiku menghangat. "yeah, yeah, aku tahu. Banyak yang bilang begitu," jawabku.

Taylir kembali tertawa. "kau ini tidak bisa diajak romantis, ya?" katanya sambil terkekeh.

Aku memutar bola mataku. Lalu menyendok es krimku. Well, es krim coklat ternyata tidak terlalu buruk.

***

Aku baru selesai mengerjakan essai sejarahku tentang perang saudara di tempat tidurku. Taylor mengantarku pulang ke rumah beberapa jam yang lalu dan sekarang sudah malam. Aku meutup bukuku lalu mengambil iPodku dan memilih lagu yang ada di sana.

Aku baru mau memasang earphone ke telingaku saat aku mendengar suara seseorang di bawah. Lalu terdengar suara ibuku. Well, mungkin teman ibuku. Aku mengangkat bahu lalu memasang earphone di telingaku dan memperbesar volumenya.

Aku sudah mendengarkan lagu seitar tiga puluh menit dan sudah merubah-rubah posisi jutaan kali saat pintu kamarku di ketuk.

Aku melepas earphoneku. "masuklah," kataku.

Aku nyaris mati syok saat melihat Justin masuk ke dalam kamarku. Apa yang dia inginkan sekarang?.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang