Part 36

795 58 0
                                    

Isabella POV

Aku baru mau mengomelinya saat ponselku berdering. Aku mengambil ponselku dan nama Taylor tertera dalam layarnya.

Aku melirik Justin dan melihat dia sedang melihat lengannya yang patah. Aku mendesah lalu mengangkat telfon dari Taylor.

"halo? Ya, Taylor?"

"kau ada di rumah Justin?" tanyanya.

"ya."

"apa... dia baik-baik saja?"

Wow, bukankah Taylor manis? Dia tetap menanyakan keadaan Justin saat aku jelas-jelas meninggalkannya demi Justin. "ya. Dia baik. Dia sedang bermain di ponselnya saat aku datang," kataku.

Taylor terkekeh. "bagaimana keadaannya?"

"lengan kanannya patah dan harus di gips. Kurasa dia tak akan bisa masuk sekolah untuk beberapa minggu," jawabku.

"baiklah. Kau mau aku menjemputmu nanti?" tanyanya.

Ya Tuhan kenapa Taylor harus begitu baik?. Dia membuatku semakin meraa bersalah karena meninggalkannya di restoran tadi.

"kurasa tidak usah. Aku tidak ingin merepotkanmu lebih dari ini. Terima kasih, Taylor."

"baiklah. Sampai ketemu besok, Bella," katanya.

"sampai ketemu, Taylor. Bye," jawabku dan kami memutuskan sambungan.

Aku kembali menatap Justin yang kembali mengutak-atik ponselnya. "Taylor?" tanyanya.

Aku mengangguk. "dia menanyakan keadaanmu. Bukankah dia manis?" kataku.

Justin memutar bola matanya sambil terus menatap layar ponselnya. "dia hanya basa-basi," gumamya.

Justin mendongak padaku. "aku penasaran. Kau langsung ke sini begitu mengetahui lenganku patah. Lalu, bagaimana dengan kencanmu dan Taylor?" tanyanya.

"aku meninggalkannya," jawabku.

"kenapa?" tanya Justin lagi.

"karena aku menghkwatirkanmu," jawabku dan langsung ku sesali mengatakannya keras-keras. Aku langsng menutup mulutku dengan tangan.

Justin menatapku jail dan tersenyum sangat lebar. "jadi, kau langsung pergi ke sini dan meninggalkan Taylor yang sedang makan malam denganmu?"

Aku tidak menjawabnya.

"benar begitu, kan?" Dia menaik-naikan alisnya padaku sekarang.

Aku tetap menutup mulutku. Sial.

"ya, kan, Izzy?" Dia mencolek pinggangku sekarang.

Aku menjerit lalu mencubit perutnya. "hentikan itu!" kataku.

Justin tertawa terbahak-bahak sambil mengelus-elus perutnya yang barusan kucubit.

Aku cemberut dan menyilangkan lenganku di dada sementara Justin cekikikan seperti orang gila.

"aw kau sungguh baik sekali, Bella. Apa itu artinya kau lebih memilih aku daripada Taylor?" godanya.

Lagi-lagi aku tidak menjawab pertanyaannya. Dan dia mendengus senang.

"ah tentu saja begitu. Aku tahu kau tidak akan bisa terus-terusan mendiamkanku. Aku terlalu seksi untuk di diamkan," katanya.

Aku mendelik dan memukul kepalanya. Aku tanpa sengaja menyenggol lengannya yang patah dan Justin menghela nafas tertahan. Aku menjerit dan segera menjauh.

"maafkan aku!" kataku.

Justin tersenyum dan mengangguk. "tidak apa-apa. Hey, kau mau menulis di gipsku?" tanyanya.

Aku tersenyum lebar. "bolehkah?"

Justin mengangguk dan berusaha melepas kain penyangga dari bahunya. Aku membantunya lalu mencari spidol di meja belajarnya. Aku mengambil spidol berwarna hitam lalu duduk di samping kananya.

Aku tersenyum senang. "wah aku orang pertama yang menulis di gipsmu. Apa yang sebaiknya aku tulis?" tanyaku pada diri sendiri.

Justin dengan sabar menungguku memutuskan. Dia hanya tersenyum dan meletakkan lengan kanannya di atas kasur. Aku menjentikkan jari lalu mulai menulis di gips putih kerasnya.

Aku tersenyum senang setelah selesai dan Justin melihat tulisanku.

"Justin's a Jerk!" tulisku.

"Hey! Aku tidak lagi!" protesnya.

Aku menjulurkan lidah dan menggoyang-goyang spidol yang tadi kupakai menulis. Justin merebut spidol dari tanganku lalu membukanya dengan giginya dan mulai menulis di gipsnya dengan tangan kirinya.

Cengiran lebar menghiasi wajahnya saat selesai menulis dan aku membaca apa yang dia tulis.

Di situ, tepat di bawah tulisanku, Justin menulis: "dan Bella tergila-gila padaku" dengan gambar hati di sekitarnya.

Aku mendelik dan kembali merebut spidol tadi darinya.

"tapi Justin yang mengejar-ngejarku," tambahku di samping tulisan Justin. Justin tertawa lalu berusaha merebut spidol tadi dari tanganku. Justin berhasil merebut spidolnya dan aku berusaha kembali mengambilnya sementara Justin mengangkat spidol tinggi-tinggi.

"nuh uh kau tidak boleh menulis macam-macam lagi, Nona Muda," katanya tertawa.

"berikan itu padaku, Justin!" kataku.

Aku mendekat padanya sambil berusaha meraih spidol dari tangannya, masih tertawa terbahak-bahak bersamanya. Aku terpeleset di atas kasurnya dan jatuh di atas tubuh Justin.

Wajahku dan wajahnya sejajar dengan beberapa inchi jarak sebagai pemisah. Seketika tawa kami lenyap dan aku menatap ke mata coklat beningnya yang berkilau terkena cahaya lampu. Nafas segar Justin menerpa kulitku dan entah dari mana Justin mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang