Part 26

874 56 0
                                    

Isabella POV

Justin bilang dia ingin mampir ke suatu tempat. Aku sempat menganjurkan agar aku naik bus saja. Naik bus sepertinya lebih menyenangkan daripada harus bersama dengan Justin lebih lama. Aku merasa ingin memitingnya ke tanah karena bersikap sangat menjengkelkan hari ini.

"kenapa kita ke sini?" tanyaku nyaris menjerit saat kami sampai di tempat yang Justin maksud.

"memangnya kenapa?" jawabnya tak acuh dan langsung keluar dari mobilnya. Dia memutar ke sisiku dan membukakan pintu untukku. Aku menyender pada jok di belakangku sambil menyilangkan kedua lenganku di dada. Bersikap seakan-akan aku dan lapisan kain di balik punggungku menempel dan Justin harus merobek kulitku untuk membuat kami berpisah.

Justin tersenyum jahil melihat tingkahku. "well, kita bisa gunakan cara sulit." Dia nyengir sangat lebar dan menaik-naikan alisnya.

Aku mengejang dan langsung keluar dari mobilnya. Justin tertawa melihatku lalu menutup pintu di belakangku.

"gadis baik," gumamnya.

Aku memutar bola mataku lalu mendahuluinya masuk ke toko di hadapanku.

Kami ada di kedai es krim yang aku kunjungi bersama Taylor tempo hari. Kedai es krimku dan Justin. Well, setidaknya setiap minggu kami akan makan es krim di sini. Sebelum dia mulai mendiamkanku, tentu saja.

Aku tahu dia punya rencana agar aku memaafkannya dan aku sejuta persen yakin datang ke kedai es krim adalah bagaian dari rencananya.

Aku langsung masuk kedalam dan memilih tempat duduk di pojok dekat jendela kaca di bagian barat kedai. Aku duduk membelakangi kaca dan Justin terkekeh melihat tempat yang kupilih.

"sudah kuduga. Seperti dulu, kan?" katanya dan melangkah untuk memesan es krim kami.

Aku terhenyak di kursiku. Tempat ini yang selalu kami duduki jika makan es krim di sini. Dan aku selalu duduk membelakangi kaca sementara Justin akan duduk di hadapanku. Entah bagaimana, aku langsung memilih tempat ini. Aku mendesah. Kenangan.

Justin kembali membawa dua gelas es krim di tangannya. Dia tersenyum lalu duduk di hadapanku. Lagi-lagi kenangan. Justin meletakkan satu gelas es krim di hadapanku dan gelas lainnya untuknya.

"rasa biskuit dengan taburan kacang di atasnya. Favoritmu, kan? Dan aku minta tambahan kacang. Persis yang kau sukai," katanya tersenyum manis.

Aku menatapnya lekat-lekat. Dia benar. Semua yang dia katakan benar. Rasa es krim kesukaanku, serta bagaimana aku menyukai ekstra kacang dalam es krimku, dia benar tentang itu. Ternyata setelah bertahun-tahun mendiamkanku, dia masih ingat semua itu.

Aku melirik gelas Justin. Rasa permen kapas dan taburan coklat chips. Favoritnya.

Ya Tuhan aku ingin menangis rasanya. Sudah bertahun-tahun aku mengharapkan aku akan kembali ke tempat ini bersama Justin. Memesan rasa kesukaan kami dan tertawa seperti orang tolol.

Justin sepertinya menyadari perubahan ekspresiku karena dia meletakkan sendok es krimnya dan menatapku. "Bella kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Aku menggeleng, berusaha menghilangkan titik-titik air dari sudut mataku. "apa yang sebenrnya kau coba lakukan, Justin?" tanyaku.

Justin mengerutkan keningnya, menatapku bingung. "apa maksudmu?"

"tidak. Apa maksudMU? Membawaku ke sini? Membuatku mengingat masa lalu, seakan-akan kau tidak pernah menjauhiku dan memilih Kate dibandingkan aku? Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Justin menunduk dan mendesah lalu dia mendongak dan menatapku lurus. Berbagai macam ekspresi bergantian melintas dalam bola mata hazelnya yang berkilauan. Sesal, sedih, tersiksa?.

"aku... Aku tahu aku salah, Bella. Aku mengacau. Sangat. Dan aku ingin memperbaiki semuanya," akunya.

Aku mendengus. "kau tidak berpikir satu gelas es krim akan membuat semuanya kembali seperti semula, kan?" tanyaku. Justin baru mau menjawab saat kupotong "bertahun-tahun rasa tersiksa menyadari sahabatmu dari bayi mendiamkanmu dan menatapmu sinis? Melihatnya bersikap seakan-akan kau tidak ada dan tidak eksis? Bersikap bahwa kau adalah sesuatu yang buruk, yang harus dihindari?"

Justin tidak menjawab, hanya balas menatapku. Perasaan tersiksa kembali muncul dalam matanya dan sekarang terlihat lebih jelas. Ini tidak adil! Kenapa dia yang membuatku merasa bersalah? Saat dialah yang sudah melukai hatiku untuk sekian lama?.

"dua tahun, Justin. Dua tahun lebih aku meyakinkan diriku bahwa kau tidak bermaksud melakukan itu semua. Bahwa Justin yang ku kenal masih ada jauh tertutupi sifat menyebalkanmu. Dan kau menghancurkan semua keyakinanku hanya dengan perkataan Kate."

Justin masih menatapku dengan tatapan yang sama. "aku memang tidak bermaksud melakukannya, Bella. Aku masih Justin. Aku masih anak laki-laki yang menemanimu di setiap malam saat kau tidak bisa tidur. Aku masih Justin yang mendekapmu saat kau menangis ketakutan saat petir menyambar di malam-malam penuh badai. Aku masih anak itu," bisiknya. Suaranya bergetar dan aku rasa dia ingin menangis.

Dan aku juga ingin menangis sekarang. Aku menarik napas dalam-dalam. "tapi semua sudah terlambat, Justin. Kita... Aku... Aku terlalu terluka untuk melihatmu sebagai Justin yang dulu. Justinku," kataku.

Ekspresi terluka terlihat lebih jelas lagi mengalahkan semuanya di mata Justin.

"kalau begitu aku akan jadi Justin yang baru untukmu. Bagaimana jika aku menyukaimu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Aku terlalu kaget hingga membutuhkan beberapa detik untuk merespon. Aku mendesah. "aku... Ada orang lain..."lirihku.

Justin mengerjap terkejut. "siapa?" jawabnya tak lebih dari bisikan.

Aku menelan ludah sebelum menjawabnya.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang