Isabella POV
Aku menelan ludah. Haruskah aku?. Aku mendesah dan mengangguk lalu bangkit.
"mm, Bella?" panggil Pattie. Aku menoleh padanya. "maukah kau merawat luka Justin sekalian? Aku tidak tega melihatnya seperti itu," lanjut Pattie.
Aku tersenyum padanya dan mengangguk. "tentu."
"tapi, sebelum kau pergi, mom ingin bicara padamu, Bella," kata ibuku, "sebaiknya kita tanyakan padanya sekarang," ibuku menatap Pattie sesaat, "duduklah," perintahnya.
Aku menatap ibuku dan Pattie bergantian. Baiklah, apa lagi yang ingin mereka bicarakan? Aku jadi sedikit gugup sekarang. Jangan bilang mereka benar-benar ingin bertanya ada apa dengan Justin. Aku kembali duduk dan menunggu ibuku atau Pattie bicara.
Pattie mendesah. "Bella, apa kau tahu apa yang terjadi pada Justin? Dia... berubah," kata Pattie.
Aku benar, kan? Apa yang harus kukatakan?. Well, Pattie berhak tahu apa yang terjadi dengan anaknya. Tapi aku tidak akan mengatakan bahwa dia sudah menyakitiku. Secara mental dan fisik. Itu akan terlalu menyakiti hati Pattie.
"aku tidak tahu pasti. Tapi menurutku, Justin berubah sejak dia berpacaran dengan Kate," kataku.
"Kate? Maksudmu Kathrina Jones?" tanya ibuku.
Aku mengangguk dan Pattie menggeleng. "aku memang tidak pernah menyetujui hubungan Justin dengan gadis itu. Well, keluarga Jones memang sangat baik, terutama Mrs. Jones. Hanya saja anak satu-satu mereka, Kate terlalu manja dan tidak menghargai orang lain," ujar Pattie.
"well, ini salahku. Justin bilang padaku bahwa dia menyukai Kate. Dan akupun membantunya mendekati Kate. Jadi, secara tidak langsung ini salahku. Aku minta maaf Pattie," kataku.
Pattie menggeleng. "tidak, Bella. Tentu ini bukan salahmu. Justin memintamu menolongnya, kan? Aku mengerti. Tidak apa-apa," dia menenangkanku, "Bella, ada apa denganmu dengan Justin? Mengapa aku tidak pernah melihatmu bersamanya lagi?" tanya Pattie lagi.
Aku mendesah dan menunduk. Topik ini, adalah topik yang paling kuhindari. Karena hanya akan mengingatkanku bagaimana dekatnya aku dengan Justin dulu. Bagaimana aku dan Justin selalu bersama dan tidak terpisahkan. Bagaimana Justin selalu mebuatku tertawa dan menghiburku saat aku sedang terpuruk. Dan bagaimana perlakuan manis Justin membuatku maikn menyukai Justin tiap harinya. Lalu saat dia mulai berkencan dengan Kate dia mulai mendiamkanku. Itu sebenarnya benar-benar menyakiti hatiku.
"apakah karena Kate?" tanya Pattie.
Aku mengangguk.
Pattie mendesah lalu bangkit untuk memelukku. "oh Bella, aku minta maaf. Pasti menyakitkan, kan?".
Aku mengangguk lagi dalam pelukannya. Pattie sangat, sangat benar. It hurts. So much.
"baiklah, kau masih mau melihat Justin?" tanya Pattie.
Aku berpikir sejenak. Apa sebaiknya aku pergi? Well, sepertinya Pattie mengharapkan aku untuk melihat Justin, jadi aku mengangguk.
"ya. Aku akan melihatnya."
Pattie tersenyum padaku. "terima kasih, Bella."
Aku mengangguk lagi lalu melangkah ke dapur. Well, tentu aku tahu di mana dapurnya. Rumah ini sudah seperti rumah kedua untukku. Aku biasa berkunjung ke sini setiap minggu atau Justin yang datang ke rumahku. Hanya saja dengan perubahan Justin, aku sudah tidak pernah ke sini lagi.
Aku mengambil es, kompres dan air hangat lalu langsung melangkah ke kamar Justin di lantai dua.
Aku berhenti di puncak tangga. Pintu kamar Justin hanya tinggal beberapa langkah dari sini. Aku sejujurnya takut. Aku memang tidak merasa seperti ini saat dibawah tadi, dan aku tidak menyangka aku akan kelewat takut begitu sampai di atas.
Bagaimana jika Justin sudah sadar dan dia kembali mengamuk begitu melihatku? Bagaimana jika dia akan menyakitiku lagi?. Aku menghembuskan napas pelan-pelan. Jangan jadi pengecut, Bella. Kau harus melakukan ini.
Aku mengehala napas lalu ―dengan sangat pelan― melangkah ke arah pintu kamar Justin.
Aku berhenti di depan pintunya dan mendekatkan telingaku pada kayu keras di hadapanku. Di dalam hening. Mungkin Justin belum sadar. Aku kembali menghela napas lalu membuka pintu kamarnya pelan.
Aku mengintip sedikit sebelum masuk. Justin sedang berbaring di kasurnya―sepertinya tertidur―, tubuhnya ditutupi selimut. Aku mendesah lega. Dia sepertinya belum bangun. Aku melangkah masuk dan meletakkan barang-barang yang kubawa di sebelah kasurnya.
Justin, ―sepertinya― tertidur lelap. Mata kirinya bengkak dan mulai membiru, pipi kanannya memar dan bibirnya sobek. Aku meringis melihat keadaan Justin.
Terakhir kali aku melihatnya seperti ini adalah saat awal masuk SMP. Kami masih akrab waktu itu. Justin bertengkar dengan salah anak laki-laki di sekolah karena mereka mengejekku. Memang dia bertengkar karena dirku juga kali ini. Tapi dia tidak membelaku. Dia bahkan yang menyakitiku.
Aku memandangi wajah tertidurnya dan berpikir. Bagaimana aku bisa membersihkan lukanya? Langsung mengelapnya tanpa membangunkannya dulu? Dia pasti akan sangat kaget. Membangunkannya terlebih dulu baru mengelap luka-lukanya? Bisa-bisa dia langsung mencekikku begitu membuka mata.
Aku mendesah. Ya Tuhan apa yang harus kulakukan? Aku hanya diam di tempat. Menatap Justin yang tertidur pulas dengan masih berpikir.
Aku mendesah. Sebaiknya aku memang harus membangunkan Justin terlebih dulu.
Aku baru mau membangunkannya saat Justin membuka matanya perlahan. Matilah aku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Obstacles
FanfictionIsabella Parker and Justin Bieber were supposed to be best friends. Tetapi persahabatan retak ketika perasaan cinta mulai tumbuh tanpa bisa dikendalikan. ◦Isabella Jane Parker as Lucy Hale ◦Justin Bieber as Himself