Part 31

816 50 0
                                    

Justun POV

Aku duduk di sana di sebelah Taylor dan langsung membeku. Jantungku seakan di tusuk seribu jarum melihat apa yang Taylor dan Bella baru lakukan.

Taylor, dengan tangan memeluk erat pinggang Bella, baru saja mengecup pipi gadis itu lembut lalu membisikkan sesuatu―yang aku bahkan tidak ingin tahu karena Bella langsung tersipu― di telinga Bella.

Aku berdehem dan mendorong bahu Taylor pelan. "Dude, simpan kemesraanmu nanti. Aku mencoba untuk makan di sini," kataku main-main.

Taylor terkekeh. "sorry, bro. Cari gadismu sendiri kalau begitu," jawabnya.

Yang lain tertawa karena ucapan Taylor. Bahkan aku tertawa―walaupun lebih menjadi tawa miris daripada tawa senang. Hanya Bella yang menatapku lekat-lekat. Ada secercah penyesalan dan kekhawatiran menari-nari di kedua matanya. Seolah-olah dia merasa bersalah karena telah membiarkan Taylor mencium pipinya di depan mataku.

Aku sekuat mungkin tidak membalas tatapannya. Jika aku melakukannya, aku yakin akan mulai menangis lagi.

#Isabella P.O.V#

"kau menerimanya?" kata Taylor senang.

Aku baru menyetujui ajakan kencannya Jumat malam nanti. Tidak, kami belum pacaran. Dia hanya mengajakku makan malam. Hanya itu.

Aku mengangguk dan dia langsung memelukku dari samping. Aku menyadari seseorang duduk di samping Taylor―tapi tidak tahu siapa, aku sedang menunduk― saat Taylor mengecup pipiku.

"kujemput pukul 7. Percantik dirimu. Walaupun kau selalu cantik," bisiknya di telingaku.

Aku tersipu mendengar ucapannya dan dia terkekeh.

Saat itulah aku mendengar suara Justin. "Dude, simpan kemesraanmu nanti. Aku mencoba untuk makan di sini," katanya memukul bahu Taylor pelan.

Taylor kembali terkekeh dan membalas pukulan Justin. "sorry, bro. Cari gadismu sendiri kalau begitu."

Semua orang yang ada di meja tertawa bersama Taylor. Semua, bahkan Justin.

Aku terlalu kaget untuk tertawa. Tenggorokanku terasa kering dan aku membeku di tempat. Justin melihat yang tadi?. Aku mendongak dan melihat Justin tertawa. Aku tahu dia tertawa hanya untuk menutupi perasaannya. Aku tahu dia terluka. Aku mengenalnya terlalu lama untuk tahu.

Seketika perasaan bersalah menyerangku dan menekanku sedemikian rupa hingga aku merasa tersiksa. Aku menatap Justin dan dia hanya melirikku sekilas tanpa mau membalas tatapanku.

Dia benar-benar terluka.

***

Kelas pemerintahan benar-benar bagai tiang siksaan untukku. Justin―tentu saja― kembali duduk di bangkunya yang terkucil di pojok kelas, sendirian. Yang membuat semuanya lebih parah, dia tidak mengobrol denganku sejak kejadian kecil di kafetaria tadi. Ya ampun, dia bahkan tidak menatapku!.

Aku sesekali berusaha meliriknya sepanjang pelajaran berlangsung meskipun harus dipenuhi rasa was-was agar tidak ketahuan guru Pemerintahanku. Dan Justin tetap tidak menoleh padaku. Dia bahkan tidak balas melirikku.

Tunggu, kenapa aku harus merasa bersalah? Kenapa aku harus merasa tersiksa saat Justin sedih?

Aku mendesah dan mencoba fokus pada apa yang sedang dijelaskan guru di depan kelas.

***

Selesai dari kelas Pemerintahan, sejujurnya aku mau menanyakan mengapa Justin mendiamkanku. Well, bukannya dia tidak pernah mendiamkanku sebelumnya, hanya saja aku tahu dia begini karena aku.

Aku bermaksud mengejar Justin yang langsung meluncur keluar saat bel pulang sekolah berdering. Mencoba menyelinap diantara murid-murid yang berdesak-desakkan sepanjang koridor untuk pergi ke loker mereka atau untuk sekedar mengobrol dengan teman masing-masing.

Ergh yang benar saja! Kenapa sih anak-anak menyebalkan ini tidak mengobrol di luar, di lapangan parkir yang luas? Bukannya di koridor sempit penuh sesak yang membuat kesal ini.

Justin―entah bagaimana―menghilang di antara lautan anak-anak yang terkikik geli. Aku membuang nafas keras-keras sambil menyilang kedua lenganku di dada. Aku terlambat. Atau murid-murid mengesalkan ini yang membuatku terlambat?.

Tenang, Bella, tenang. Kau bisa bertemu dengan Justin besok atau lusa atau kapanpun.

"Bella?".

Aku berbalik dan melihat Taylor sedang melangkah ke arahku.

Aku tersenyum dan melambai padanya. Dia balas tersenyum dan aku tidak merasakan apa-apa. Ini aneh, biasanya jika Taylor tersenyum padaku, jantungku akan bereaksi. Tapi sekarang aku bahkan tidak merasa apapun yang istimewa.

"kau mencari seseorang?" tanyanya.

Aku mengangkat bahu dan berbalik menuju lokerku dengan Taylor di sampingku.

"jadi kemana kita Jumat nanti?" tanyaku.

Taylor tersenyum dan merangkul bahuku. "nah, itu urusanku. Yang harus kau lakukan hanya jadi cantik, Bella," jawabnya.

Aku terkekeh lalu meletakkan buku-bukuku ke dalam loker. Setelah mengunci lokerku, aku menarik tangan Taylor menuju parkiran.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang