Part 35

770 54 0
                                    

#Isabella P.O.V#

Aku mengecup pipinya pelan lalu berbisik padanya, "maafkan aku Taylor. Aku harus pergi," dan berlari keluar dari restoran tanpa melirik padanya lagi.

Aku tidak mau melirik padanya. Karna aku tahu aku akan melihat Taylor dengan ekspresi terlukanya. Aku takut jika aku melihatnya, aku justru akan mengurungkan niatku pergi ke rumah Justin. Aku benar-benar minta maaf, Taylor.

Aku memberhentikan taksi yang melintas di depan restoran dan langsung meluncur masuk kedalam taksi tersebut.

Aku menyebutkan alamat Justin dengan panik dan membuat supirnya terbelalak kebingungan.

"maaf, Nona, bisa Anda sebutkan lagi?"

Aku mendesah dan memberitahu Supir taksi itu sekali lagi. "38 Forthen Street (ngasal)," ulangku, "dan cepat, kumohon," imbuhku.

Supir taksi itu mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya ke alamat yang aku beritahu.

Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa diam. Aku berkali-kali meminta Si Supir mempercepat lajunya. Aku secara teratur melihat layar ponselku lalu melihat keluar jendela, layar ponselku, dan jendela berkali-kali. Aku menepuk-nepuk pahaku pelan berusaha mengurangi kekhawatiranku, tapi tidak bisa.

Well, aku tahu Pattie bilang Justin baik-baik saja dan mungkin aku hanya bereaksi berlebihan tapi aku tetap khawatir. Walaupun suara dalam otakku menyuruhku untuk tenang karena Justin hanya patah lengan karena terpeleset tapi suara itu terlalu kecil dan tertutupi seruan-seruan panik dan gila di dalam kepalaku.

Aku sedikit lega begitu taksi mulai memasuki lingkungan rumahku dan Justin. Begitu taksinya berhenti di depan rumah Justin, aku memeberi Si Supir ongkos taksiku dan langsung meloncat keluar tanpa repot-repot memikirkan kembalian.

Aku langsung berlari ke pintu rumah Justin dan mengetuk pintu rumah ini dengan brutal.

Apa yang kulakukan? Aku biasa masuk ke rumah ini tanpa mengetuk. Kenapa harus repot-repot mengetuk sekarang?.

Aku membuka pintunya dan langsung masuk ke dalam. Pattie yang sedang memasak di dapur tersentak melihatku masuk dengan terburu-buru dan seperti orang kesetanan.

"Oh Tuhan, Bella! Kau nyaris membuatku jantungan!" kata Pattie memegangi dadanya.

Aku meringis dan melangkah menghampirinya. "maaf," kataku.

Pattie mengangguk. "well, aku tahu kau akan datang. Dia ada di kamar."

Kali ini aku yang mengangguk dan melangkah ke kamar Justin. Aku mengetuk pintunya dua kali.

"masuk, mom. Tumben mengetuk pintu. Biasanya mom langsung masuk," kata Justin dari dalam.

Aku membuka pintunya, berdiri di ambang pintu dan terkesiap melihat Justin duduk di tempat tidur menyender pada kepala tempat tidurnya dan ponsel di tangan kirinya sementara tangan kanan menggantung dibantu dengan kain yang biasa digunakan untuk menahan lengan yang patah (tau kan? Aku gak tau namanya apa -_-).

Aku melangkah dan duduk kursi di depan meja belajarnya, memutar kursinya menghadap Justin sebelum duduk di atasnya.

"sial. Aku nyaris menang. Kenapa sih aku tidak pernah men― AAAAAAAAAA!" jeritnya saat melihatku. Ponsel yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke atas kasurnya. "Ya Tuhan Bella! Kau nyaris membuatku mati kaget! Apa yang kau lakukan di sana diam seperti hantu?!" katanya memegangi dadanya.

Aku tidak bisa menahan tawaku dan aku tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi kagetnya.

Aku melangkah mendekat dan duduk di sampingnya di atas kasur, masih tertawa dan dia memutar bola matanya.

"tidak lucu, tahu. Aku benar-benar kaget. Kalau saja aku punya penyakit jantung, aku pasti sudah terkapar tak bernyawa sekarang. Kau ini," gerutunya.

Aku kembali tertawa lalu terhenti saat melihat lengan kanannya yang di gips. "bagaimana lenganmu? Aku kaget sekali saat Pattie bilang kau mematahkan lenganmu!" tuntutku.

Dia memutar bola matanya. "sudah kubilang tidak usah memberitahumu. Ibuku itu keterla― AW" dia menjerit saat aku memukul kepalanya.

"bagaimana bisa kau tidak mau memberitahuku?! Aku langsung berlari ke sini dari restoran tempat aku makan malam begitu tahu," kataku.

Justin mengerutkan keningnya. "kau berlari? Benarkah?" tanyanya tidak percaya.

"well, tidak, sih. Aku naik taksi," aku nyengir.

Justin memutar bola matanya lagi. "tentu saja," gumamnya.

"tapi bagaimana kau bisa terjatuh? Kau cuma bermain basket, kan?" tanyaku.

Justin mendengus. "itu salahmu," katanya.

Aku terkesiap. "bagaimana bisa ini salahku?".

"pokoknya salahmu!" dia bersikeras.

Aku balas mendengus dan menyilangkan lenganku di dada. "enak saja."

"Bella, coba berdiri," pinta Justin.

Aku mengerutkan kening dan menatapnya aneh. "untuk apa?"

"berdirilah. Kau ini cerewet sekali," katanya.

Aku menempeleng kepalanya lalu berdiri di hadapannya.

"sekarang berputar," perintahnya.

Aku mendesah dan mengikuti perintahnya. Aku berputar membentuk lingkaran pelan-pelan. Begitu aku kembali berhadapan dengannya, Justin menatapku terpana dengan mulut menganga.

"wow, kau terlihat... terlihat..." dia tidak menyelesaikan kata-katanya. Hanya menggeleng-geleng saat melihatku dengan gaunku.

"aku tahu. Taylor bilang aku cantik," jawabku tertawa.

Dia menatapku kesal seakan tidak terima. "cantik? Itu namanya penghinaan. Kau mengagumkan. Lebih dari cantik. Kau luar biasa," katanya.

Aku menunduk dan kehangatan menjalar lembut ke pipiku. Aku kembali duduk di sampingnya dan memukul perutnya pelan.

Aku baru mau mengomelinya saat ponselku berdering. Aku mengambil ponselku dan nama Taylor tertera dalam layarnya.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang