Isabella POV
Justin menatapku tajam. Matanya dipenuhi kebencian lalu dia mendorong tubuhku hingga membentur loker cukup keras. Aku mengerang dan jatuh tersungkur ke lantai.
"Bella!" seseorang berteriak dari arah pintu masuk.
Aku dan Justin menloeh dan melihat Taylor ―lebih dari marah― berlari masuk ke arahku dan Justin. Detik berikutnya Justin dan Taylor sudah saling tonjok. Justin memukul wajah Taylor beberapa kali. Lalu terjadi begitu cepat, tiba-tiba Justin tergeletak di lantai, Taylor di atas tubuhnya sambil memukul wajahnya berkali-kali.
"tidak!" aku berteriak dan sekuat tenaga mencoba berdiri menahan rasa sakit yang menjalar dari bahuku lalu segera menghampiri Taylor. Aku berusaha mendorongnya menjauh dari Justin. Bisa-bisa Justin mati babak belur!.
Aku menarik bahu Taylor menjauh dari Justin. Awalnya Taylor tidak peduli padaku dan tetap memukul Justin. Akhirnya dia berdiri sambil mengelap darah dari bawah bibirnya.
Justin berdiri dan melakukan hal yang sama.
Mereka berdua nyaris saling menonjok satu sama lain lagi, tapi aku melangkah di antara mereka.
"berhenti! Taylor cukup! Dan kau, Justin, aku tahu kau mungkin memang membenciku. Tapi tidak kusangka kau akan menyakitiku secara fisik!" kataku lalu langsung menarik tangan Taylor pergi dari sana. Meninggalkan Justin babak belur dan terengah-engah sendirian.
***
"ouch! Bella, pelan sedikit!" Taylor menjerit kecil sambil menjauhkan tanganku darinya.
Aku memutar bola mataku padanya. "ayolah, jangan cengeng," kataku dan kembali mengelap lukanya.
Kami sudah ada di rumahku. Aku memaksa Taylor untuk mampir agar aku bisa merawat luka-lukanya.
Taylor juga memutar bola matanya. "kau harus merasakan ditonjok anak laki-laki yang sedang kesal karena diputuskan pacarnya, Nona Muda," jawab Taylor.
"ya, terutama saat kaulah penyebab mereka putus," gumamku lalu Taylor terkekeh.
Ibuku masuk ke ruang tamu dengan lebih banyak es batu. Aku meberikan es itu pada Taylor lalu dia menempelkannya pada memar-memar di sekeliling wajahnya.
"kau tahu, seharusnya kau tidak perlu menonjok dan segala macam itu," kataku.
Taylor mendesah lalu menggeleng. "tidak. Tentu saja aku akan melakukannya. Dia menyakitimu, Bella. Phisically! Aku seharusnya mematahkan lehernya tadi," jawab Taylor.
Aku ikut mendesah dan kembali mengompres lukanya. "tapi dia Justin, Taylor. Dia masih Justinku. Sahabatku dulu."
Taylor menjauh dan berdiri. Dia terlihat kesal. "bagaimana kau bisa menganggapnya sebagai sahabatmu, Bella? Dia jelas-jelas bukan sahabatmu!" bentaknya sedikit.
"well, bagiku dia tetap-"
"apa yang salah denganmu?" Taylor memotong perkataanku lalu langsung keluar dari rumahku.
Aku mematung di tempat. Aku tahu, aku memang bodoh. Justin jelas-jelas sudah kelewatan. Tapi aku merasa Justin yang dulu masih ada. Justin yang selalu bersamaku, Justin yang manis dan penyayang. Atau hanya karena aku tidak mau kehilangan Justin? Aku terlalu menyukainya sampai-sampai aku masih mengharapkan dia kembali seperti dulu?.
Aku mendesah. Taylor memang benar. Jika Justin memang sahabatku, dia tidak mungkin melakukan hal-hal seperti hari ini. Aku mengacak-acak rambutku. Apa yang harus kulakukan?.
Tiba-tiba telfon rumahku berdering. Ibuku mengangaktnya dan tiba-tiba saja dia terkesiap. Aku berdiri di ambang pintu ruang tamu memperhatikannya.
"yes Pattie?" ibuku melirik padaku.
Aku berdiri tegak dan memperhatikannya lekat-lekat. Pattie? Justin's mom?.
"Ada apa? Oh Tuhan, apa dia baik-baik saja? Ya, baiklah aku akan segera ke sana," ibuku berhenti lalu menatapku sambil menjauhkan gagang telfon, "maukah kau ikut aku ke rumah Justin?" tanyanya tanpa suara.
Aku mengangguk.
"baiklah, kami akan di sana dalam sepuluh menit. Aku tahu. Its nothing. Baik, bye," ibuku menutup telfonnya.
"apa?" tanyaku.
"Pattie akan menjelaskannya. Mom juga tidak terlalu mengerti. Sebaiknya kau ikut mom ke rumah Justin," kata ibuku sambil mengenakan jaketnya.
Aku mendesah. Apa sebaiknya aku ikut? Maksudku, aku pastinya adalah orang terakhir yang Justin ingin temui. Apa yang akan dia lakukan jika dia melihatku ada di rumahnya?
"Bella, kau ikut atau tidak?" tanya ibuku lagi.
Aku mengangguk lalu ikut mengambil jaketku dan memakainya.
***
Ibuku mengetuk pintu rumah berwarna putih ini. Selang beberapa menit pintu rumah dibuka, dan terlihat wanita paruh baya yang kukenal nyaris seumur hidupku, sedang menangis?.
Ibuku langsung memeluk Pattie sementara aku hanya membeku di tempatku berdiri.
Pattie mengisyaratkan agar kami masuk ke dalam. Ibuku dan Pattie melangkah masuk sementara aku mengekor di belakang. Kami duduk di ruang tamu. Aku dan ibuku membiarkan Pattie menenangkan dirinya untuk berapa saat sebelum dia mulai bicara.
"dia pulang babak belur dengan wajah berdarah. Aku berusaha bertanya padanya dan dia mulai berteriak-berteriak dan langsung melangkah ke kamarnya. Aku mengikutinya ke atas dan dia pingsan sebelum masuk ke dalam kamarnya," Pattie kembali menangis dan ibuku langsung memeluknya.
Aku ―untuk entah sudah ke berapa juta kalinya― kembali membeku di tempat. Apakah Justin separah itu?.
"mmm, apakah dia sudah sadar?" tanyaku pelan.
Pattie melepaskan diri dari pelukan ibuku dan menatapku sendu. "sepertinya belum. Oh Bella, apa yang salah dengannya?" isak Pattie.
Aku menatapnya sedih. Apa yang harus kukatakan? Justin bertengkar dengan Taylor? Dan jika mereka bertanya apa yang membuat dua orang itu bertengkar aku harus bilang apa?.
"Bella, maukah kau melihat Justin di kamarnya? Pastikan dia sudah sadar atau belum?" pinta Pattie.
Aku menelan ludah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Obstacles
FanfictionIsabella Parker and Justin Bieber were supposed to be best friends. Tetapi persahabatan retak ketika perasaan cinta mulai tumbuh tanpa bisa dikendalikan. ◦Isabella Jane Parker as Lucy Hale ◦Justin Bieber as Himself