Epilog

1.6K 77 5
                                    

Isabella POV

Aku menatap bayangan seorang gadis di hadapanku. Aku tersenyum padanya dan dia balas tersenyum padaku. Gadis itu, adalah refleksi dirku di cermin. Kedua bola mataku berbinar cemerlang dengan garis hitam eye liner yang membuatnya lebih tajam dan dramatis. Pipiku merona merah muda lembut yang senada dengan bibirku. Sekali lagi aku tersenyum dan gadis cantik di hadapanku tersenyum.

Malam ini, Justin mengajakku makan malam. Dia bilang, ini hanya makan malam biasa.

Tetapi ibuku memaksaku mengenakan gaun terbaikku dan berdandan secantik mungkin. Dia mengancam, dia akan menghukumku jika aku tidak menuruti perintahnya. Ibuku itu apa-apaan, sih?.

Bahkan, Anabelle, Haylie serta Allyson repot-repot datang ke rumahku dan membantuku berdandan. Mereka sejak sore sibuk mondar-mandir dan mengutak-atik wajah serta rambutku.

Aku memperhatikan gerak-gerik mereka dari cermin di hadapanku. Haylie sedang merapihkan bagian belakang gaunputih susuku sementara Ana dan Allyson sedang melakukan sesuatu dengan rambutku. Ana menarik rol rambut terakhir dan rambut di sisi kananku jatuh melewati bahuku.

Allyson menyatukan rambutku dan menjepitnya sedemikian rupa di sebelah kiri. Aku tersenyum melihat pekerjaan mereka.

"kalian luar biasa. Aku bahkan tidak mengenal gadis dalam cermin itu," kataku.

Mereka tertawa dan membantuku berdiri. Aku berputar sebentar dan tersenyum menghadap teman-temanku. "terima kasih. Sangat. Tapi aku benar-benar merasa ini semua tidak terlalu dibutuhkan. Maksudku, kami kan hanya akan makan malam biasa," kataku.

Mereka bertiga memutar bola mata masing-masing dan menyeretku keluar dari kamarku.

"Justin sudah di sini sejak tadi. Sebaiknya kau memasang senyum paling manis di wajahmu," kata Haylie.

Aku mengangguk dan kami sampai di puncak tangga. Aku baru mau turun seperti biasa saat Ana kembali menarikku.

"apa yang kau lakukan?" bisiknya.

"turun? Kau bilang Justin sudah di sini?"

Ana memutar bola matanya lagi. "turun pelan-pelan. Buatlah turunnya dirimu sedramtais mungkin," sarannya.

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "kalian semua harus berhenti menonton serial romantis cengeng."

Mereka terkekeh dan aku kembali turun―dengan lebih dramatis kali ini. Aku berani bertaruh teman-temanku pasti sangat ingin meniup gelembung-gelembung dan menebarkan bunga ke arahku sekarang.

Aku sampai di dasar tangga dan disambut oleh Justin yang menatapku dengan mulut menganga dan tidak berkedip. Dia memakai tuksedo hitam yang tidak dikancingkan dan kemeja putih terlihat di dalamnya. Jins hitam melekat di kakinya.

Aku terkekeh melihat ekspresinya lalu dia mengerjap-ngerjap beberapa kali dan melangkah ke arahku.

Dia mendekat ke arahku dan mencium pipiku. "kau tampak luar biasa, Miss Parker," bisiknya di telingaku.

Aku tersipu, "kau juga tampak hebat, Mr. Bieber," bisikku di telinganya juga.

Justin mundur dan mengulurkan satu tangannya padaku. "bisa kita berangkat, Nona Cantik?" tanyanya.

Aku tersenyum dan meletakkan tanganku di atas telapak tangannya. "kita bisa."

Justin menggandeng tanganku dan kami keluar dari rumahku.

Setelah makan malam kami di salah satu restoran cukup mewah―yang entah dari mana Justin tahu, Justin membawaku ke tengah hutan. Aku mengerutkan kening melihat keadaan di sekelilingku yang gelap gulita.

Justin menggandeng tanganku dan itu sedikit menenangkanku. Dia membimbingku melewati pohon-pohon besar yang tertutup bayang-bayang.

Aku mulai khawatir dan gelisah karena kami sepertinya sudah masuk cukup dalam ke dalam hutan dan saat itulah hutan menghilang digantikan lapangan luas yang berkelap-kelip indah.

Cahaya keperakan dari bulan menyinari lapangan yang entah seberapa besar dan Justin membimbingku ke tengah-tengah lapangan. Di beberapa sisi lapangan terdapat lilin yang menghasilkan api biru kehijauan yang di letakkan di semacam tiang. Secara keseluruhan, semua yang ada di sini sangat cantik. Menakjubkan.

Justin membuatku berhadapan dengannya dan dia menggenggam kedua tanganku lembut.

"kau menyukainya?" tanyanya, tersenyum.

Aku balas tersenyum padanya dan mengangguk. "sangat. Ini sangat cantik," kataku.

Justin membelai rambutku pelan. "tidak secantik dirimu," bisiknya.

Aku tersipu dan menunduk. Justin mengangkat daguku dan menatap mataku. Bola mata coklatnya berbinar lembut tertimpa cahaya bulan.

"Bella, kau sudah menjadi bagian dari hidupku sejak aku bahkan belum bisa bicara. Aku pernah mengeluarkanmu dari hidupku dan melakukan tindakan yang sangat bodoh," dia berhenti sebentar, "Dan sekarang, aku ingin kau kembali mejadi bagian dari hidupku dan tetap menjadi bagian dari itu. Maukah kau menjadi kekasihku?" katanya menatapku lekat-lekat.

Aku terbelalak dan lapisan air tipis mulai muncul di mataku. Satu tetes meluncur turun ke pipiku dan Justin menghapusnya dengan ibu jarinya.

"ada apa? Mengapa kau menangis?" tanyanya. Bola matanya dipenuhi kekhawatiran.

Aku menggeleng. "tidak. Aku... Aku hanya terlalu bahagia, Justin," jawabku.

Justin tersenyum dan mendekatkan wajagnya ke wajahku. "jadi kau adalah milikku, kan?" tanyanya di depan wajahku.

Aku mengangguk dan bibir kami bertemu. Dan seperti saat pertama waktu itu, aku merasakan kupu-kupu yang sama berterbangan di perutku.

THE END

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang