Part 34

746 51 0
                                    

Justin POV

"Justin ini hidupku. Aku bebas menerima semua ajakan kencan bahkan dari guru aljabar kita sekalipun dan kau tidak bisa melarangku," sergah Bella saat aku menanyakan alasan kenapa dia menerima ajakan kencan Taylor.

Dia... benar. Dia sangat benar sampai-sampai rasanya aku baru saja di lempar dari tebing dan terhempas langsung ke pecahan-pecahan karang.

Aku menunduk dan nyaris lumpuh karena rasa sakit yang akan menelanku hidup-hidup.

"kau benar. Maafkan aku," kataku lalu berlari meninggalkan Bella yang membeku di depan loker-loker.

Aku langsung berlari ke mobilku dan membanting pintunya. Aku memukul roda kemudi dan ingin sekali rasanya berteriak sekeras mungkin. Aku tidak dapat berfikir karena amarah dan rasa sakit yang bercampur hingga sulit dibedakan. Nafasku tidak teratur dan tanganku mengepal erat hingga buku-buku jariku memutih.

Aku, dengan brutal menghidupkan mobilku dan menjalankannya menuju rumahku. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyalurkan kemarahanku.

Begitu sampai, aku langsung keluar dari mobil dan berlari ke kamarku. Aku membanting pintu kamar di belakangku dan mengacak-acak isi kamarku dengan perasaan yang luar biasa kacau.

Ini terlalu banyak untuk ditanggung hatiku yang sejak kemarin terluka. Aku melihat bola basket tergeletak diam di pojok kamarku dan meraihnya lalu berlari ke halaman belakang rumahku.

"Justin, ada apa?" teriak ibuku dari ruang tamu yang kuacuhkan.

Aku berlari kehalaman belakang rumahku. Di sana ada ring basket kecil yang dulu biasa aku dan Bella gunakan. Bagus, semua kenanganku bersama Bella di sini bahkan membuatnya semakin menyakitkan. Betapa menyedihkannya diriku.

Aku mulai mendrible bolaku yang ada di tangan dan bergerak-gerak tak tentu arah tanpa terlalu mempedulikannya.

Otakku tidak sepenuhnya memperhatikan apa yang dilakukan tanganku. Aku tahu Bella belum menjadi kekasih Taylor tadi sore dan dia mungkin saja setelah kencan mereka malam ini.

Aku melempar bola keras-keras dan bola itu menghantam kayu di atas ring dengan bunyi berisik kemudian kembali memantul kepadaku. Aku melemparnya dengan kekuatan yang sama berkali-kali hingga tiang yang terbuat dari besi itu bergoyang-goyang pelan.

Aku tidak mempedulikan hari yang sudah gelap. Tidak mempedulikan perintah ibuku untuk masuk ke dalam atau nafasku yang sudah mulai habis. Aku hanya peduli pada satu hal. Bella. Dan dia bahkan tidak peduli padaku sekarang. Ironis.

Aku melangkah untuk melakukan Lay Up dan saat aku ingin melompat, aku tergelincir dan keseimbanganku goyah. Aku terjatuh dengan tangan kanan sebagai penumpu seluruh berat badanku.

Lalu aku mendengar bunyi keretak tulang patah dan jeritanku yang penuh rasa sakit menggema di gelapnya malam.

#Isabella P.OV#

"Well, Justin mematahkan lengannya," ujar Pattie sambil mendesah.

Aku tersentak dan nyaris, nyaris saja menjatuhkan ponselku ke dalam mangkuk sup di hadapanku.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku berkali-kali. "ap- APA?! Kena- Bagaimana bisa?" tanyaku panik.

"Bella, Bella tenanglah―"

"bagaimana aku bisa tenang, Pattie? Justin mematahkan lengannya! Oh Tuhan! Dimana dia sekarang?" kataku setengah berteriak.

Aku tidak mempedulikan semua tatapan yang tertuju padaku di restoran itu. Mana mungkin aku bisa mempedulikan mereka? pikiranku hanya tertuju pada Justin.

Bagaimana mungkin dia bisa mematahkan lengannya? Apa dia begitu bodoh hingga bermain basket saja tidak becus?.

"dia ada di rumah, Bella. Astaga, tenanglah. Dia baik-baik saja," kata Pattie, "Justin benar, harusnya aku tidak memberitahumu. Kau panik sekali," imbuhnya.

Apa?! Justin bilang aku tidak perlu diberitahu?! Akan kucincang anak itu! Bisa-bisanya dia ingin tidak memberitahuku!

"tidak, Pattie. Aku tetap akan tahu cepat atau lambat. Apa dia ada di rumah?" tanyaku, masih panik.

"ya. Dia ada di kamarnya―"

"baik. Terima kasih, Pattie," potongku.

Taylor menatapku keheranan. "Bella ada apa?" tanyanya menangkap kepanikanku yang besar.

Aku kembali memasukkan ponselku ke tas dan bangkit. "aku harus pergi. Justin patah lengan saat bermain basket. Aku harus melihatnya," kataku.

"tapi bagaimana dengan makan malam kita?" tanyanya, kesedihan dan sedikit rasa cemburu terlintas dalam kedua bola mata gelapnya.

Ya Tuhan, kenapa? Kenapa aku harus selalu terjebak dalam situasi membingungkan seperti ini. Aku tidak mau melukai hati Taylor, tapi Justin bahkan sudah terluka mebih dulu.

"Taylor, maafkan aku. Aku akan menggantinya lain waktu," jawabku.

"tidak. Jika kau pergi, itu artinya kau memilih Justin dibandingkan aku," bisiknya.

Aku menggigit bibir bawahku. Sial, Taylor membuat semuanya lebih sulit lagi.

Aku menghel nafas panjang lalu meraih tasku dan berjalan ke arahnya. Aku mengecup pipinya pelan lalu berbisik padanya, "maafkan aku Taylor. Aku harus pergi," dan berlari keluar dari restoran tanpa melirik padanya lagi.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang