Part 30

857 53 0
                                    

Isabella POV

"ini akan jadi 45 menit menyenangkan, Izzy. Kau mau tahu bagaimana?" bisiknya di telingaku.

Aku menelan ludah dan tampaknya Justin mendengarnya kerena dia terkekeh―masih di samping telingaku― dan aku bergidik.

"nah, tidakkah kau ingin tahu, Izzy?" ulangnya.

Aku membeku di tempat. Kepalaku pening dan jantungku berdegup tidak beraturan. Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaan Justin.

"Izzy, Jay bicara padamu," bisiknya lagi. Nada bicaranya sama seperti saat kami berumur empat tahun―hanya saja sekarang lebih berat.

Aku mengerjap dan mendorong Justin menjauh. Dia tertawa keras-keras. Aku kembali mengerjap-ngerjapkan mataku lalu melotot pada Justin.

"Jangan.Pernah.Lakukan.Itu.Lagi" kataku mengertakkan gigi.

Justin meredakan tawanya menjadi cengiran sementara aku diam-diam mencoba mengembalikan napasku menjadi seperti seharusnya.

"sebaiknya kita cepat. Waktu kita tinggal 35 menit lagi," kataku mengambil pensil dan kembali menatap buku aljabarku.

Justin tersenyum ―aku sejuta persen yakin dia tersenyum― lalu ikut mengambil pensil yang tadi dia gunakan sebagai pedang khayalan dan ikut melihat ke bukuku.

"jadi kau harus menghitungnya deng― Tunggu, kau memaafkanku, kan?" tanyanya mendongak menatapku.

"ajari aku dulu," jawabku.

Justin menggeleng dan menyilangkan kedua lengannya di dada. "nuh uh, aku tidak akan mengajarimu sebelum kau memaafkanku. Jadi?" tanyanya lagi.

"Justin, ajari saja aku!" kataku mulai panik. Kami hanya punya waktu kurang dari setengah jam dan anak ini membuang-buang waktu.

Justin menggeleng kuat-kuat. Kenapa? Kenapa dia harus sangat menyebalkan?

"baiklah, baiklah! Aku memaafkanmu. Kau puas?" kataku melotot padanya.

Justin tersenyum lebar dan menepuk-nepuk kepalaku pelan. "nah, gadis baik," gumamnya.

Aku mendengus dan mengedikkan dagu pada buku aljabarku. Mengisyaratkan agar dia segera memulai pelajarannya.

"ah! Benar. Ayo kita mulai," katanya dan mulai mengutak-atik angka yang ada di hadapannya.

"benar sekali, Bella. Kau sudah bisa. Bahkan kau lebih hebat dari guru aljabar kita," kata Justin menepuk-nepuk bahuku.

Aku tersenyum sambil membusungkan dadaku lalu tertawa bersama Justin.

"Bella?"

Aku menoleh dan melihat Taylor berdiri di depanku dan Justin menatap kami aneh.

"hey Tay, kau sudah datang. Jam berapa sekarang?" Aku melirik jam di depan kelas.

Delapan kurang sepuluh. Sebentar lagi bel masuk. Wow aku tidak menyadarinya.

"kalian sedang apa?" tanya Taylor duduk di samping kananku―Justin di samping kiri, di tempat Allyson.

"Justin baru saja mengajariku materi ulangan hari ini. Ohya, kemana Allyson? Biasanya dia datang pagi," kataku mencari gadis pirang itu.

"dia tidak masuk hari ini. Dia akan ulangan susulan besok," kata Taylor.

Aku mengangguk dan Justin sudah menggeser bangku Allyson kembali ke tempatnya. Dia baru bangkit dan mau melangkah saat aku memanggilnya.

"kau mau kemana?" tanyaku.

Justin tersenyum. "kembali ke tempatku," jawabnya mengangkat bahu.

"oh, okay."

Sebenarnya dia bisa duduk di tempat Allyson. Toh Alyyson juga tidak masuk hari ini. Tapi―lagi-lagi― aku terlalu sombong untuk memintanya duduk di sana.

Aku berbalik dan melihat Justin duduk di bangkunya di pojok kelas. Sendirian. Dia mendongak dan tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya.

Kau jahat, Bella.

#Justin P.O.V#

Akhirnya! Bella memaafkanku. Aku ―dari banyaknya hal yang patut disyukuri di sekolah ini― bersyukur karena ulangan aljabar pagi ini. Aku tahu Bella kurang menyukai matematika. Well, dia membencinya dan membantunya adalah tindakan yang paling menguntungkan.

Aku kembali ke tempat dudukku di pojok kelas setelah mengajari Bella. Taylor sudah datang dan Bella sudah ada yang menemani.

Aku sebenarnya sangat ingin duduk di kursi Allyson yang kosong, tetapi kuurungkan karena aku sudah cukup membuat Bella kesal pagi ini. Aku akan membiarkannya ulangan dengan tenang.

Bella menoleh ke arahku dan aku tersenyum ke arahnya. Dia membalas senyumanku walaupun ada sesuatu yang membuat senyumnya tidak ceria. Ada apa dengannya?.

***

"kau sudah baikan dengan Bella?" bisik Chaz di pelajran berikutnya, kimia.

Aku mengangguk tanpa menoleh dari papan tulis. Untung saja guru kimia kami sedang menulis.

"bagaimana bisa?" tanyanya lagi.

Aku memutar bola mataku. "kuceritakan nanti. Kerumahku setelah sekolah berakhir," bisikku cepat.

"kenapa tidak sekrang?" paksanya.

"karena kita sedang di tengah-tengah pelajaran dan hanya gadis-gadis yang menggosip di kelas."

"oh ayolah Just―"

"Mr. Somers ada yang ingin kau bagi dengan kelas?" suara Mr. Trens menggema mengagetkan Chaz san sedikit membuatnya terlonjak di bangkunya. Dia menggeleng.

"kalau begitu, kerjakan soal Reaksi Redoks di depan," perintah guru paruh baya berambut ikal pendek itu.

"yes, sir," kata Chaz bangkit dan melotot padaku.

Aku sekuat tenaga menahan tawaku. Ah, Chaz pasti bisa mengerjakan soal itu. Dia mungkin aneh tapi dia cukup pintar. Selamat Chaz.

***

Aku melangkah menuju Chaz yang melambai-lambai seperti orang gila sambil membawa nampan berisi burger keju dan sekaleng cola. Seandainya dia bukan sahabatku sejak sekolah dasar, aku pasti akan berbelok dan pura-pura tidak mengenalnya. Anak itu punya kelainan otak, aku bersumpah.

Aku duduk di sana di sebelah Taylor dan langsung membeku. Jantungku seakan di tusuk seribu jarum melihat apa yang Taylor dan Bella baru lakukan.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang