Part 29

816 54 0
                                    

Isabella POV

Aku tidak melihat Justin seharian. Yah, bukannya aku ingin melihatnya, sih, tapi entah mengapa aku merasa kejadian kemarin ada hubungannya dengan tidak masuknya Justin hari ini.

"Bella, kau baik-baik saja?" tanya Taylor membuyarkan lamunanku.

Aku mendongak dan mengangguk. "aku baik. Kenapa?" tanyaku bingung.

"kau melamun dan terus-terusan mendesah. Kau punya masalah?" tanyanya khawatir.

Aku menggeleng dan tersenyum padanya. "tidak aku baik-baik saja. Mungkin ini hanya kelas aljabar. Kau tahu, aku benci matematika," ujarku.

Taylor menatapku lekat-lekat―tidak percaya dengan alasanku―, tapi akhirnya mendesah dan tersenyum melihat cengiranku.

Taylor menggandeng tanganku dan kami memasuki kafetaria bersama. Kami duduk bersama yang lain setelah mengambil makan siang kami.

"aku tidak melihat Justin hari ini," kata Taylor mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, "apa dia tidak masuk?"

Aku menegang di tempat dudukku dan menjaga kepalaku tetap tertunduk. Dari sudut mataku, aku melihat Ana dan Haylie sedang menatapku. Aku menunduk lebih dalam.

"kau tahu dia kemana, Bella?" tanya Chaz.

Aku tergagap dan mendongak dengan kikuk. "s-siapa?".

Chaz memutar bola matanya. "Justin, tentu saja,"

"Aku tidak tahu," kataku dan menunduk sedalam mungkin.

***

Keesokan harinya, aku sudah duduk di kelas aljabarku pagi-pagi sekali. Aku tidak berangkat bersama Taylor hari ini. Aku bilang padanya aku akan diantar ibuku. Sebenarnya, aku hanya ingin datang lebih pagi dan tidak mau memaksanya bangun lebih awal untuk menjemputku.

Aku ada ulangan aljabar pagi ini. Dan karena aku tahu aku kurang menguasainya, aku belajar di kelas―itu alasannya kenapa aku datang pagi sekali.

Baru setengah jalan mempelajari angka-angka menyebalkan di hadapanku, pikiranku mulai melantur kemana-mana. Apa Justin akan masuk hari ini? Atau dia kembali tidak masuk? Apa dia baik-baik saja?

"Hai, Bella! Selamat pagi!" sapa seseorang menggebrak meja di hadapanku.

Aku terlonjak lalu memegangi dadaku sambil mendongak dan langsung memutar bola mataku.

Aku nyaris, nyaris sekali merasa bersalah pada orang di hadapanku sekarang, tetapi langsung sirna karena dia muncul hampir membuatku mati jantungan.

Justin berdiri di depanku dengan cengiran lebar dan menaik-naik alisnya. Aku mendengus dan kembali menekuni bukuku.

"well, well, kau tidak membalas salamku. Anyway, kau sedang apa?" tanyanya. Dia menggeser satu kursi ke mejaku dan duduk di sampingku, sangat dekat.

Aku mendiamkannya. Justin mengangkat bahu lalu mengambil pensil lain di mejaku dan membentur-benturkannya seakan itu dua pedang perak panjang yang sedang beradu.

Aku memelototinya dan meletakkan tanganku di pahaku. Di bawah meja sehingga Justin tidak bisa mengangguku dengan imajinasi liarnya itu.

Dia tersenyum lalu mengambil sejumput rambut dari bahuku. "wah, rambutmu sudah panjang, Bella. Aku tidak menyadarinya," gumamnya, menggulung-gulung ujung rambut coklat pekatku dengan dua jarinya.

Wajahnya cukup dekat. Cukup dekat untuk aku merasakan desah nafasnya samar-samar menyapu rambut dan leherku. Sial, sial, sial! Kepalaku pening dengan aroma nafasnya. Kenapa sih dia harus melakukan ini sekarang?.

"ergh Justin, pergilah! Aku sedang belajar," erangku.

Justin terkekeh lalu melihat buku di hadapanku. "aljabar? Oh! Hari ini ada ulangan. Aku juga belum belajar. Tak apa, kau lanjutkan belajarmu. Aku akan duduk di sebelahmu, belajar juga, mungkin."

Aku memberikannya tatapan kau-pasti-bercanda dan dia hanya tersenyum sambil menggeser kursinya kembali ke tempat semula dan duduk menopang dagu sambil menatapku dan tersenyum.

Aku mendesah dan kembali mencoret-coret kertas di hadapanku, mengacuhkan kehadiran satu orang menyebalkan di sampingku.

Oke, aku bisa melakukan ini. Aku bisa mengerjakan soal-soal ini dengan Justin duduk di sampingku, tersenyum seperti orang tolol keracunan makanan dan... Ergh! Aku tidak bisa melakukannya!

Aku mendengus dan membanting pensilku di meja. Justin terkekeh lalu kembali menggeser bangkunya mendekat padaku.

"aku tahu kau akan meledak cepat atau lambat. Perlu bantuan, Bella?" tawarnya, tersenyum sangat manis sampai-sampai aku bisa terkena diabetes jika memandangnya terus―oke, yang ini aku bercanda.

Aku menimbang-nimbang dalam hati. Aku marah padanya, dan membiarkan dia mengajariku berarti aku menyerah dan memaafkannya. Yah bukannya aku tidak akan memaafkannya, sih. Tapi kan tetap saja.

Tapi Justin pintar dalam matematika―Well, dia pintar di segala pelajaran― dan dengan dia mengajariku, aku yakin aku akan melewati ulangan hari ini dengan mudah.

Aku menggigit bibir dan bergantian menatap Justin, buku aljabarku lalu jam dinding bulat di depan kelas. Bel masuk akan berbunyi 45 menit lagi. Waktu yang sangat cukup jika Justin membantuku.

"aku tidak di sini selamanya, Bella. Kau tahu, waktu terus bergulir," katanya, mengangkat bahu.

Aku tahu, Justin! Bisakah kau diam dan biarkan aku berpikir?! Aku meneriakkan kata-kata itu di benakku.

"oh, Bella" panggilnya.

"aku tahu, Justin. Aku tahu, ya ampun!" jeritku, melotot padanya, "baiklah, kau menang. Ajari aku menghitung angka-angka perengek yang selalu minta dihitung ini!"

Justin tertawa lalu mengambil pensil dari tanganku dan mendekatkan dirinya padaku.

Deg!

Apa yang anak ini lakukan?.

"ini akan jadi 45 menit menyenangkan, Izzy. Kau mau tahu bagaimana?" bisiknya di telingaku.

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang