Part 33

759 53 0
                                    

Isabella POV

Dua tangan besar dan kuat menarikku ke tinkungan terdekat dan memojokkanku ke loker-loker biru cerah yang ada di belakangku. Aku terkesiap melihat siapa yang menarikku.

"Justin?!" kataku setengah menjerit.

Justin berdiri di hadapanku, terlalu dekat dengan wajahnya di sisi kepalaku. Bulu-bulu di tengkukku berdiri saat nafasnya menyapu telingaku lembut.

"Bella, kenapa kau lakukan ini padaku?" lirihnya.

"lakukan apa?" jawabku tak lebih dari bisikan.

Justin menjauh dariku―walaupun tidak cukup jauh karena aku masih bisa merasakan deru nafasnya menerpa wajahku― dan menatapku. Matanya penuh dengan kemarahan dan dia mencengkram lenganku erat.

"Kenapa.Kau.Menerima.Ajakan.Kencan.Taylor," katanya membuat setiap kata menjadi kalimat dengan menggertakan gigi.

Aku mengerutkan kening. "memangnya kenapa?" jawabku mulai menemukan suaraku kembali.

"kau tahu perasaanku, Bella. Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanyanya.

Aku mengerjap tidak percaya. "maafkan aku? Kenapa kau berkata seolah-olah aku menikam jantungmu dengan pisau?" protesku.

Justin memutar bola matanya. "rasanya sama," gumamnya.

"Justin ini hidupku. Aku bebas menerima semua ajakan kencan bahkan dari guru aljabar kita sekalipun―aku langsung menyesal mengatakannya karena akan sungguh mengerikan jika benar terjadi― dan kau tidak bisa melarangku," sergahku.

Seketika semua amarah dalam mata Justin lenyap digantikan rasa putus asayang amat besar.

Dia menunduk dan aku nyaris mati karena siksaan rasa bersalah.

"kau benar. Maafkan aku," bisiknya dan langsung pergi meninggalkanku sendirian mematung diantara loker-loker.

Tidak. Maafkan aku, Justin.

***

Aku sedang mengacak-acak semua baju yang ada di lemariku, mencari kira-kira baju apa yang harus kupakai malam ini.

Aku tahu anak laki-laki selalu merahasiakan tempat kencan pertama mereka untuk jadi kejutan. Tapi terkadang itu menyebalkan. Bagaimana aku tahu harus memakai baju apa saat aku tidak tahu kemana aku akan pergi?. Akan sangat memalukan jika aku memakai celana jins dan kaus biasa ternyata aku akan makan malam di restoran mewah bintang lima, kan? Atau aku memakai gaun perancang khusus tetapi kenyataannya pasanganku hanya membawamu ke bioskop?. Itu namanya salah kostum dan ini benar-benar menyebalkan bagi kaum perempuan.

Aku mendesah dan mengambil ponselku lalu mengirim pesan pada Taylor. "bisakah kau beri aku bocoran akan kemana kita pergi? Aku tidak bisa memutuskan akan mengenakan baju apa." tulisku.

"haha baiklah, baiklah. Kita akan makan mlam di sebuah restoran. Jadi kau harus tampak seperti seorang putri," jawab Taylor.

***

Aku sedang memakai sepatu saat bunyi klakson terdengar dari depan rumahku. Aku tersenyum dan berlari turun. Aku menghampiri ibuku dan mencium pipinya sekilas.

"aku pergi, mom. Sampai nanti," kataku.

"bersenang-senanglah sayang. Oh! Bella?" panggil ibuku saat aku baru akan membuka pintu depan.

"ya?" Aku berbalik dan mengerutkan kening menatap ibuku.

"kau terlihat cantik," kata ibuku tersenyum.

Aku balas tersenyum lalu terkekeh. "trims mom," kataku dan melangkah keluar dari rumah.

Aku disambut taylor yang berdiri di sisi penumpang sambil tersenyum.

"wow, Bella. Kau terlihat cantik," ujarnya sambil memperhatikanku dari atas sampai bawah.

Aku mengenakan gaun pendek selutut dengan sentuhan warna biru kobalt dan lengan panjang sampai siku. Lipatan-lipatan rumit menghiasi bagian depan gaun hingga pinggang.

Aku menunduk dan tersipu lalu memukul lengannya pelan.

"bisakah kita?" tanyannya membukakan pintu penumpang untukku.

Aku mengangguk dan tersenyum. "kita bisa," jawabku dan masuk ke dalam mobilnya.

"sudahkah aku memberitahumu, kau terlihat sangat cantik malam ini?" tanya Taylor saat kami menunggu pesanan kami datang.

Aku mengangguk. "ya. Ribuan kali," jawabku.

"akan kulakukan jutaan kali untukmu," balasnya mengerling.

Aku tertawa lalu mengangkat garpuku dan mengarahkannya pada Taylor. "hentikan itu Taylor atau kutusuk dadamu dengan garpu," kataku.

Taylor tertawa dan tidak lama makanan kami datang. Aku baru mau menyendok makananku saat ponsel dalam tasku berdering nyaring sehingga memecah keheningan dalam restoran mewah ini.

Aku buru-buru mengambilnya dan mengerutkan kening melihat nama Pattir tertera dalam layar ponselku.

"halo? Pattie?" kataku.

"Bella? Apa... Aku mengganggumu, Bella?" tanya Pattie.

"well, tidak. Tidak begitu. Ada apa?"

"Justin..." kata Pattie. Suaranya terdengar panik dan khawatir. Dia bahkan bicara dengan tidak jelas dan aku tidak mengerti satu kata pun kecuali nama Justin.

"Pattie, oke, tenangkan dirimu. Tarik nafas dan keluarkan lalu ceritakan pelan-pelan. Ada apa?"

Aku mendengar Pattie menarik nafas beberapa kali lalu menghembuskannya pelan-pelan. "baiklah. Jadi, tadi sore Justin pulang sekolah dengan wajah luar biasa muram. Dia langsung masuk ke kamarnya, mengambil bola basket lalu pergi ke halaman belakang rumah kami. Dia bermain sampai malam tanpa berhenti, Bella. Walaupun aku sudah menyuruhnya berhenti dan masuk ke dalam, dia tidak mau mendengarku. Lalu dia mencoba melompat dan dia terpeleset dengan lengan kanannya menahan berat tubuhnya. Lalu..." suara Pattie menghilang.

Aku mengerjap-ngerjap menunggu penjelasan Pattie. "lalu apa, Pattie?" Aku punya firasat buruk mengenai ini.

"well, tapi kau jangan panik, oke?" katanya.

Apa? Kenapa aku tidak boleh panik? Apa yang terjadi sebenarnya?. "tidak. Katakan padaku,"

"Well, Justin mematahkan lengannya," ujar Pattie sambil mendesah.

Apa?!

The ObstaclesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang