Dengan kesal Midam melepaskan cengkramannya yang erat ditangan Felix begitu mendengar ringisan yang keluar dari mulut yang di cengkram.
Untuk sekedar informasi, telah sampai di depan apartemen Felix.
Felix sendiri langsung memegang sebelah tangannya menggunakan tangan lainnya lalu mengelus-elusnya pelan. Liquid bening masih menetes dari netra indah itu membuat Midam merasa bersalah, meskipun ia tahu air mata itu mengalir bukan karenanya.
Midam meraih lengan Felix yang tadi di cengkramnya erat. Melihat ruam-ruam kemerahan yang menghiasi kulit tangan Felix membuat rasa bersalahnya bertambah. Ia mengelus-elus lengan Felix yang terluka dan meniup-niup nya pelan, mencoba menghilangkan perih dan sakitnya.
Felix sendiri hanya diam, memperhatikan Midam yang masih meniup-niup lengannya. Lengannya yang bebas ia pakai untuk menghapus lelehan air yang masih mengalir, meskipun tak sederas tadi.
"Maaf ya?" akhirnya Midam berucap tanpa melepaskan genggamannya. Aksi meniupnya telah ia hentikan. Pandangannya pun kini terkunci pada netra indah Felix yang kini merah karena menangis.
Felix menjawabnya dengan anggukan kepala pelan. Merasa belum sanggup untuk mengeluarkan suaranya.
"Masih sakit?" tanya Midam lembut.
Felix menggeleng lemah. Jujur, ia memang tak merasa sakit lagi di tangannya. Entahlah jika yang dihatinya. Luka itu terlalu dalam, terlalu menyakitkan, sehingga membuatnya merasa mati rasa.
"Udah yah? Gausah nangis?" Midam berkata sembari mendekatkan wajahnya ke wajah Felix. Felix yang di dekati pun refleks memejamkan matanya.
Midam mencium kedua mata Felix yang terpejam secara bergiliran, lalu mencium pucuk hidung mungil Felix yang kemerahan akibat menangis. Felix tak menolak diperlakukan seperti itu, toh mereka sering melakukannya dulu. Contohnya saat dulu Felix menjatuhkan permen lolipopnya dan menangis membuat Midam melakukan hal serupa untuk menenangkan Felix.
Felix membuka matanya saat ia tak merasakan lagi hembusan nafas yang menerpa wajahnya, melihat Midam yang sudah menjauhkan wajahnya. Felix tersenyum hangat sembari Menatap Midam yang juga tengah tersenyum padanya.
"Besok, atau kapanpun kamu butuh temen atau diary, aku atau Chan selalu ada buat kamu." ucap Midam hangat.
"Kok ga bilang sandaran kaya yang di drama-drama sih?" tanya Felix.
"Hidup ga harus kaya drama baby. Lagian kamu juga udah punya sandaran."
"Punya? Engga ih." elak Felix karena ia memang merasa tak punya siapa-siapa lagi yang bisa ia jadi kan sebagai sandaran selain Midam dan Chan. Ah, atau mungkin Jisung? Minho? Ahh Felix tak tahu.
"Punya. Kamu punya bahu jalan buat kamu jadiin sandaran." canda Midam yang berhasil membuat Felix terkekeh kecil.
Sejenak Felix merasa mood nya telah kembali hanya dengan candaan receh Midam.
"Apasih? Dammie receh deh."
"Yang penting kamu ketawa. Mau aku jadi idiot atau orang tereceh sekalipun asal itu bisa bikin kamu ga sedih lagi, bisa bikin dunia liat senyum manis kamu lagi hal itu bakal aku lakuin."
Felix tahu, Midam tulus mengatakannya. Hal itu dapat ia ketahui lewat mata Midam yang memancarkan ketulusan. Felix merasa senang. Ia merasakan hal yang telah lama tak ia dapatkan. Hal yang tak mungkin ia dapatkan dari Hyunjin.
"Ta!" Felix berucap tulus.
"No drama." balas Midam.
Setelah memastikan bahwa Felix sudah membaik, Midam bersiap untuk pamit. Ia mengacak-acak surai Felix dengan gemas membuat yang menjadi korban mempoutkan bibirnya, walaupun tak dapat dipungkiri ia juga menikmati ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanna be? || Hyunlix
Hayran Kurgu"Mau ga jad-...." "Ga!" "Serius?" "Iya!" "Miapa?" "Anjing!" Hyunjin seme, Felix uke bxb Seenggaknya pernah singgah di #950 in fanfiction 2018/05/07 #904 in fanfiction 2018/05/08 #812 in fanfiction 2018/05/09 #40 in schoollife 2018/05/11 #840 in fa...