07. Hate

3.3K 465 22
                                    

Gadis itu duduk termenung di kursi belajarnya —menatap sendu ke arah nilai ujian akhir semesternya.

Ibunya pulang malam ini, dan bisa dipastikan kalau dia tidak akan tidur dengan tenang karena nilai-nilainya yang semakin menurun.

Ingin sekali ia menghilang malam ini saja untuk menghindari omelan dari sang ibu. Namun apa boleh buat? Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menyerahkan lembaran kertas penentu masa depannya itu.

"Nona Lee, Nyonya besar sudah menunggu di ruang makan."

Gadis yang panggil nona Lee itu menoleh, kemudian mengangguk, "Bilang pada ibu, sebentar lagi aku menyusul."

Sang maid pun tersenyum sembari mengangguk sebelum undur diri dari sarang si gadis Lee.

************************************

"Mana raport-mu?"

Hyeri mematung sejenak sebelum tangannya menyerahkan lembaran nilai pada sang ibu.

Wanita paruh baya itu menilik tiap baris tulisan yang tertera. Mata nyalangnya membaca dengan teliti tiap angka yang yang tertoreh di atas kertas itu.

Nyonya Song Miyeon, ibu dari Lee Hyeri langsung mengalihkan atensinya ke arah putrinya yang sedang menunduk takut.

"Nilai matematikamu naik, tapi kenapa nilai yang lain turun?" tanya sang ibu dengan nada yang bicara yang dingin mencekam.

"A-aku tidak tahu—"

Brak!

Nyonya Song membanting raport Hyeri ke meja, beliau langsung berdiri dengan tatapan membunuh yang terus menusuk putri semata wayangnya.

"Apa yang kau lakukan selama ini?! Untuk apa aku menyekolahkanmu dan memasukkanmu ke tempat les yang bagus kalau kau sendiri tdak belajar dengan sungguh-sungguh!"

"Aku belajar dengan sungguh-sungguh, Bu," lirih Hyeri.

"Kalau kau belajar sungguh-sungguh, bagaimana bisa nilaimu bisa lebih jelek daripada semester kemarin?!" bentak si nyonya besar.

Hyeri menundukkan kepalanya semakin dalam.

"Mau ditaruh di mana wajahku nanti kalau aku bertemu dengan ibunya Namjoon? Astaga aku malu sekali! Kau memang beban bagiku dan ayahmu!"

Deg..

"Maaf, Bu, lain kali aku akan belajar lebih keras lagi." Hyeri berucap sembari menahan air mata di pelupuk matanya.

"Ya, kau memang harus belajar lebih keras lagi. Lihat Namjoon, dia rajin dan pintar, langganan juara umum di sekolah. Beruntung sekali orangtuanya, setidaknya mereka punya sesuatu untuk dibanggakan. Tidak seperti aku."

Ini. Inilah yang Hyeri benci dari ibunya selain menyebutnya sebagai 'beban', ibunya selalu membandingkan dirinya dengan orang lain.

"Lee Hyeri," panggil sang ibu dan Hyeri pun mendongak, "berdiri di depan ibu sekarang juga!"

Tidak, ini buruk.

Hyeri berdiri. Ia mendekati sang ibu lalu berdiri di depannya.

"Berbalik," titah sang ibu, kemudian Hyeri berbalik.

Hyeri tahu apa yang akan dilakukan ibunya selanjutnya. Maka dari itu, dia menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan sakit yang menjalar ke tubuhnya akibat pecutan ikat pinggang yang mendarat sempurna di bokong kenyalnya nanti.

Ctass...

Sekuat tenaga, gadis itu menahan air matanya supaya tidak jatuh menuruni pipinya.

Ctass...

Gigitan di bibirnya semakin kuat. Hampir berdarah. Sebisa mungkin ia berusaha menahan jeritan kesakitannya. Karena jika dia mengaduh, pecutannya akan semakin menyakitkan.

Ctass...

Tangan keriput namun terawat milik sang ibu semakin menggila. Beberapa maid bahkan saling berbisik menggunjingkan betapa kejamnya si ibu dalam menghukum putrinya. Padahal hanya gara-gara nilai turun sedikit.

Setelah hukuman yang diberikan terasa cukup, nyonya Song menyuruh putrinya untuk masuk ke kamarnya sendiri dan beliau melanjutkan makan malamnya yang tertunda.

************************************

Hyeri POV

Aku menenggelamkan diri di bathtub yang berisi air dingin. Gila memang, di malam hari seperti ini aku memilih berendam di air dingin ketimbang air hangat. Bukan tanpa alasan, aku melakukan ini semata-mata untuk mengurangi perih yang menjalar di bagian tubuh belakangku.

"Aku benci wanita tua itu." Berulang kali aku merapalkan umpatan teruntuk ibu kandungku.

Aku tahu itu tidak baik. Tapi kalau sudah terlanjur benci, apa boleh buat?

Bahkan gara-gara dia, aku melewatkan makan malamku yang berharga.

Telapak kaki dan tanganku sudah mengerut, itu tandanya aku harus segera menyudahi kegiatan berendamku.

Tepat saat aku keluar dari kamar mandi, seseorang mengetuk pintu kamarku. Buru-buru aku membuka dan mengintip melalui celah pintu. Aku tersenyum ketika seseorang yang mengetuk itu adalah ahjumma Shin, kepala pelayan di rumah ini.

"Nona, ini nasi kepal untuk makan malam."

Aku memersilakan ahjumma Shin masuk ke kamar.

"Terimakasih. Omong-omong, kenapa ahjumma memberiku nasi kepal? Tanpa sumpit atau sendok pula?"

Bukannya menjawab, wanita paruh baya ini mengambil tangan kananku dan mengelus pelan luka bakarku yang sedang dalam proses pemulihan.

"Sejak kemarin nona tidak makan karena kesulitan memegang alat makan, kan? Maka dari itu ahjumma membuat makanan yang bisa dimakan langsung tanpa alat makan, khusus untuk nona."

"Terimakasih untuk makanannya."

Ahjumma Shin mengusak rambutku sebelum meninggalkan kamarku, "Makan yang banyak, ne? Kalau butuh sesuatu panggil ahjumma saja," ucapnya dan aku membalas anggukan.

Terkadang, aku selalu berharap semoga ibuku punya sifat lembut dan pengertian seperti ahjumma Shin.

[kth] Mr. Genius (on hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang