Aku berlari sekencang-kencangnya dengan kaki telanjang.
Pelupuk mataku berair hampir menjatuhkan isinya, itu semua hanya karena kejadian menyebalkan yang ingin kulupakan segera.
Hingga akhirnya langkahku terhenti tepat di sebuah bangunan mewah yang menjadi tempat tinggalku selama ini.
Tapi aku tidak akan masuk ke sana, melainkan memutar menuju halaman belakang di mana ada dua buah pondok tempat para pekerja yang jauh dari kampung halaman mereka tinggal.
Tanah yang dingin dan basah membelai kakiku menusuk sepanjang jalan setapak menuju pondok itu.
Kutekan bel pintunya saat kuberdiri di depannya, tak lama kemudian seorang wanita paruh baya membuka pintu itu dan langsung memasang ekspresi kaget saat melihatku.
Tidak heran, di cuaca sedingin ini, aku bertamu ke pondok itu dalam keadaan mengenaskan. Gaun semi formal pendek selutut tanpa lengan, dan dengan kaki telanjang, siapa yang tidak terkejut?
"Nona Lee?! Astaga, masuklah." Kumelangkah masuk lebih dalam ke pondok lalu mendudukkan bokongku di sofa yang tampak sederhana namun terawat ini.
Bibi Shin memberiku selembar sellimut dan coklat panas, juga dengan telatennya dia merendam kakiku di baskom yang penuh dengan air hangat. Ia benar-benar mengerjakan tugasnya dengan baik.
"Terima kasih," ucapku.
Bibi Shin tersenyum ramah, kemudian berdiri dan berjalan menuju dapur.
"Nona, apa kau sudah makan?" teriaknya dari dapur.
"Belum."
Beliau tidak menjawab lagi, tergantikan dengan suara alat masak yang beradu.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling, tempat ini tak pernah berubah semenjak aku kecil, bahkan warna dinding dan posisi perabotannya pun. Yang berubah hanyalah cat dinding yang terlihat baru, mungkin dipoles ulang karena catnya sudah mengelupas atau memang sudah kusam.
Ada beberapa kamar di tempat ini. Setiap kamar memiliki 3 ranjang tingkat. Semua pegawai yang jauh dari tempat tinggalnya, menetap di pondok yang mirip asrama ini. Setiap satu bulan sekali mereka pulang ke kampung halaman masing-masing.
Tapi tidak dengan Bibi Shin, Kepala pelayan yang mengabdi di keluargaku sejak ibuku masih gadis.
Tunggu ....
Terlintas sesuatu dipikiranku.
Aku mengeringkan kakiku yang direndam tadi dengan handuk yang tak jauh dari baskom, lalu menghampiri Bibi Shin yang sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam untukku. Aku duduk di kursi makan yang memang ruang makan ini menyatu dengan dapur.
"Ahjumma," panggilku, dan ia pun menoleh, "Aku ingin bertanya sesuatu, boleh?"
"Tentu, kau boleh bertanya apa pun."
"Ahjumma mengabdi pada keluarga saat ibu masih gadis, 'kan?"
"Ya, tepatnya saat aku bekerja untuk kakek dan nenekmu, saat aku masuk ibumu sudah duduk di bangku SMA," katanya.
Aku mangut-mangut. "Dulu ..., ibu orang yang seperti apa?"
Sebelum menjawab pertanyaanku, wanita yang kuanggap sebagai ibu keduaku itu menghidangkan masakanya di meja, kemudian duduk berlawanan denganku dan melanjutkan ceritanya.
"Nyonya Song itu sedikit nakal dulu, sering membangkang pada kakek-nenekmu, tapi lemah lembut dan ramah."
Lemah lembut, katanya?
"Benarkah? Kenapa selama ini ibu sering memukulku?"
Bibi Shin tersenyum. "Nyonya Song ..., hanya tidak tahu cara mendidik anak. Masa remajanya memang agak sedikit keras, ia juga sering dipukul dulu, dan mungkin sampai sekarang Nyonya berpikir bahwa main fisik itu adalah cara mendidik anak yang baik."

KAMU SEDANG MEMBACA
[kth] Mr. Genius (on hold)
FanfictionKarena trauma masa lalunya, harus membuat Taehyung terpaksa berpura-pura bodoh dan pemalas di depan semua orang. Namun siapa sangka, ia mempunyai sebuah rahasia besar hingga ia harus berpura-pura. Akankah suatu saat ia menunjukan jati dirinya? Dapa...