Gue mencoba untuk bersikap tenang, meskipun jauh di dalam lubuk hati dan pikiran gue ini udah bener-bener deg-degan dan serasa nggak siap buat denger omongan Evan nanti. Kita udah berada di dalam restoran dan memilih tempat duduk yang agak jauh dari lalu-lalang orang lain. Evan memilih posisi duduk berhadapan dengan gue, sambil terus-menerus memberikan senyuman indahnya itu ke arah gue.
"Udah siap buat ngomong?" Tanya gue, yang udah makin nggak sabar mendengarkan cerita Evan.
"Nggak mau pesen makanan atau minuman dulu gitu?" Jawab Evan, tanya balik.
Gue emang ngerasa haus banget sih, tapi kayaknya rasa penasaran gue jauh lebih besar daripada rasa haus gue ini.
"Yaudah, orange jus aja deh." Balas gue, supaya Evan lebih cepet membuka obrolan.
Selesai memesan minuman, Evan membenarkan posisi duduknya dan mencondongkan tubuhnya mendekat ke arah gue yang duduk di depannya.
"Nes, lo inget nggak sih.. waktu pertama kali kita ketemu di rumah gue?" tanya Evan, gue mendengarkannya dengan penuh konsentrasi sambil mengingat-ngingat momen beberapa waktu lalu.
"Mana mungkin gue lupa," jawab gue dengan mantap. "kenapa emang?" Tanya gue, gantian.
Evan terdiam sejenak dan tersenyum lagi ke arah gue.
"Pertengahan bulan ini gue di wisuda." Kata Evan, gue masih diam mendengarkan. Tapi Evan nggak langsung meneruskan perkataannya.
"Ya terus?"
"Ck.. gue males banget bahas ini sebenernya. Karena berat buat gue, dan pastinya juga bakal berat buat lo, Nes." Lanjut Evan, dengan wajahnya yang terlihat kusut.
"Ya apa? Gue masih nggak paham sama maksud lo itu. Iya, pertengahan bulan ini lo wisuda, lalu??"
Evan masih terdiam nggak menjawab pertanyaan gue tadi.
"Van?! Ada apaaa??"
Evan menarik nafas dalam-dalam. "Bulan depan gue udah harus move ke London." jawabnya, tanpa jeda.
Ia menghela nafas panjang setelah mengucapkan kalimat sederhana yang terasa sesak di dada begitu gue mendengarnya.
"London??" Tanya gue, belum paham maksud Evan.
"Scholarship." Jawabnya singkat.
Gue mengangguk perlahan. Kabar ini terdengar begitu mendadak buat gue. Ya, meskipun saat pertama kali gue bertemu Evan dirumahnya, bokap pernah mention soal scholarship Evan ke London. Tapi kan, gue masih nggak ada rasa gimana-gimana waktu itu, dan itupun kita baru banget kenal. Jadi, jelas gue nggak peduli dengan hal itu. Tapi sekarang? Kenapa rasanya seakan hati gue merasa sedih, takut, dan nggak bisa terima?
"Kenapa lo baru ngomong ke gue? Di waktu yang udah super mepet kaya gini??" Tanya gue, dengan nada suara yang sangat pelan. Mencoba untuk mengimbangkan rasa sedih dan takut gue itu. Tapi tetep nggak mau terlalu memperlihatkannya ke Evan.
Jelas saja dia bilang harus mempersiapkan mental untuk bahas soal ini.
Karena hal yang kita bicarakan ini memang keputusan yang cukup berat untuk disepakati.
Sebenernya, gue seneng banget denger Evan bisa meneruskan studi Master nya di London, dengan beasiswa yang dia dapetin dari prestasi nya di kampus. Itu sesuatu yang sangat membanggakan! Gue akan sangat mendukung hal positif itu pastinya, karena nggak semua orang bisa dapetin kesempatan langka kayak yang Evan dapetin ini. Tapi, yang sulit untuk gue terima adalah.. gimana gue harus membiasakan diri untuk terpisah dari Evan? Nggaks bisa mendengar dan melihat secara langsung lagi tawa dan suara nya dia. Tingkah konyol dan iseng nya dia, perhatiannya yang terselip di sikap cueknya itu. It's like, gue harus siap melanjutkan hari-hari gue tanpa Evan, di sisi gue. Terpisah jarak dan waktu. Cuma bisa menatap lewat layar ponsel dan laptop?
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST SIGHT
Разное"Sometimes when you meet someone. There's a click. I don't believe in love at First Sight. But I believe in that click. But it's different, when I'm with you." (27-05-2018) ~ Highest Rank TOP 10 - Teenlit ~ #5 in 'teenlit' #2 in 'jefrinichol' #4 in...