CHAPTER 29

451 52 11
                                    

Fast update! xx
Selamat menikmati kejutan demi kejutan di chapter ini ya guys😁❤️
----
Evan membawa gue ke suatu tempat yang ternyata lebih indah dari restoran tadi. Gue nggak tau ini nanamanya apa. Tapi kita ada di suatu tempat tertinggi, dengan hamparan rumput hijau menyerupai bukit, udara dingin, dan sepi. Iya, cuma ada kita berdua ditempat seluas dan sebagus ini.

"Gimana, lo suka?" Tanya Evan.

"Suka bangeeeeet!" Jawab gue dengan riang gembira dan wajah yang sumringah.

Evan cuma nyengir-nyengir aja ngeliatin gue yang lagi kegirangan. Sekarang dia udah keliatan beda banget dari sebelumnya. Udah terpancar aura bahagia gitu deh pokoknya.

Gue duduk di salah satu sudut yang menghadapkan gue ke arah pemandangan pegungunan serta jalan raya yang sedang ramai-ramainya itu. Disekelilingnya juga ada rumah-rumah penduduk yang terlihat cukup padat. Gue bahagia banget dibawa ke tempat kayak gini sama si Evan. Biasanya kan cuma ngeliatin kemacetan Jakarta yang nggak ada abisnya itu, bikin pusing dan muak.

"Lo kenapa sih cuma nyengir-nyengir doang daritadi??" Tanya gue, yang makin nggak betah ngeliatin Evan nyengir-nyengir doang.

"Ngga kenapa-kenapa." jawabnya, "...cuma seneng aja, ngeliat lo seneng."

Ucapan Evan membuat lidah gue kelu dan badan gue kaku seketika. Dia seneng, liat gue seneng?

"Cerita gue belum selesai sampai disitu aja, Nes." Evan memalingkan wajahnya ke arah depan, yang semula menatap ke arah wajah gue. "Masih ada serangkaian cerita, yang akan gue share ke elo."

"Kalo lo udah siap, lo bisa mulai cerita lagi kok." Balas gue, sambil merengkuk kedua lutut gue dan menyenderkan wajah gue disana untuk memerhatikan wajah Evan dari arah bawah. "gue akan dengerin, sampai semuanya selesai."

Dia menoleh ke arah gue yang lagi memerhatikan wajah tampannya itu.

"Wajah lo ngingetin gue sama Kanaya." Ucapannya singkat, tapi mendalam.

Gue nggak berkomentar apapun. Cuma diam dan tersenyum, begitu mendengar pernyataan Evan.

"Lo tau nggak, Nes?" gue hanya menggeleng, "waktu gue memutuskan buat keluar dari gue yang sebenernya, rasanya tuh berat banget." Dia tersenyum.

"Dulu, bokap gue itu kelilit utang sama rentenir. Dia ngutang lima puluh juta dari total utang seratus lima puluh juta. Buat bayar gaji karyawan di perusahaan Travel bokap--yang collapse." sesekali Evan melihat ke arah gue, dan melanjutkan kisah yang sepertinya masih panjang itu. "kurang lebih setahun terakhir, omset perusahaan bokap gue makin menurun. Karena karyawan finance nya korup--dan berimbas ke semua aspek sampe bokap harus nutup perusahaannya."

Gue masih menyimak cerita Evan, tanpa berniat untuk memotongnya meskipun hanya sekedar ingin menanggapi dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Dan dari situ, bokap - nyokap sering ribut dan selisih paham. Kanaya masih kelas satu SMA, dan gue kelas 2. Bokap mulai cari-cari pekerjaan lagi, dari Nol. Semua harta yang kita punya dijual-jualin, kecuali rumah gue yang waktu itu lo kunjungin." Ceritanya. "Oiya, gue minta maaf karena awal pertemuan kita nggak enak. Gue yakin itu yang bikin lo selalu sensi kan, tiap kali kita ketemu?"

Gue gelagapan, karena tiba-tiba dia ngebahas permasalahan awal yang emang bener bikin gue keki sama manusia dihadapan gue satu ini. Gue cuma nyengir kuda, nggak mengeluarkan kata apapun.

"Itu yang gue lakuin, setiap kali gue merasa tertarik sama cewek." jelas Evan, "gue akan berusaha ignore itu, dan bersikap dingin ke mereka. Awalnya sih karena dulu gue pernah janji sama diri gue sendiri, kalo gue bakal tetep setia sama Tasya--sampe dia balik lagi ke Jakarta. Tapi gue rasa itu hal yang bego dan buang-buang waktu. Karena dia nggak akan pernah dateng lagi, atau bahkan aja dia udah bahagia sama yang lain."

FIRST SIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang