"Ma, Ayin berangkat ya." Karin menghampiri sang Ibu di dapur. "Ga bareng bang Jihoon?" Tanya Mamanya.
"Naik bus aja, Ma. Bang Jihoon kuliah siang." Karin mencium punggung tangan Mamanya, mengucapkan salam kemudian berlalu keluar.
Karin bersenandung pelan sambil membuka gerbang rumahnya. Tapi kemudian, langkahnya terhenti saat melihat seorang lelaki berseragam sama dengannya berdiri menyender di motor hitamnya.
"Jeno? Kok disini?" tanya Karin.
Cowok yang dipanggil Jeno itu menyunggingkan senyumnya sampai kedua matanya menyipit. "Mau jemput lo," katanya.
"Ga bilang dulu. Kalo gue udah berangkat gimana?" Jeno menggaruk tengkuknya yang ga gatal. "Untungnya lo belum berangkat," cicitnya.
"Yaudah, ayo berangkat. Udah siang," kata Karin akhirnya.
Jeno memberikan helm cadangannya pada Karin.
Karin bertumpu pada bahu Jeno untuk membantunya menaiki motor Jeno yang tinggi. "Udah?" Tanya Jeno.
"Udah," jawab Karin sambil menggamit jaket Jeno sebagai pegangan.
Karin meringis pelan. Dia merasa ga enak banget sama cowok di depannya ini. Jeno baik banget sama dia. Kemaren sore aja waktu dia gagal jalan sama Guanlin, Jeno mau jemput. Setiap Karin butuh bantuan, Jeno selalu jadi yang terdepan. Karin udah berusaha menghindar dari Jeno. Dia ga mau kasih harapan sama Jeno. Tapi kemudian, sisi jahat dalam dirinya membiarkan Jeno menjadi tameng untuk menyembunyikan hubungannya dengan Guanlin.
Satu sekolah tau mereka dekat. Satu sekolah tau kalau Jeno suka sama Karin. Tapi mereka ga pernah pacaran. Jeno yang dengan terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Karin, dan Karin yang terang-terangan menolak. Tapi mereka ngga menjauh.
Kadang Karin dicap jahat karena kerap menolak cowok seganteng Jeno.
Ga terasa motor Jeno sudah memasuki halaman sekolahnya. Karin turun lalu menyerahkan helm yang dipakainya pada Jeno. "Makasih, ya. Repot-repot mau jemput gue." Lagi-lagi Jeno Cuma menyunggingkan senyumnya. "Apa sih yang ngga buat lo," katanya sambil mengusap rambut Karin.
Karin tersenyum getir. Dia ga bisa merasakan hatinya berbunga kalau Jeno melakukan hal yang manis padanya. Beda jika dengan Guanlin. Dipandang Guanlin saja sudah berhasil membuat kakinya lemas.
"Yuk masuk." Jeno menggandeng tangan Karin untuk mengikuti langkahnya. Karin pasrah tangannya digandeng begitu saja.
Mereka berjalan menyusuri koridor kelas yang lumayan rame. Kebetulan mereka satu kelas.
Karin menatap Jeno dari samping. Cowok itu ramah, dia selalu menyapa orang yang dia kenal lebih dulu. Banyak poin plus yang membuat banyak cewek rela ngantri demi dinotice Jeno.
Dan lagi-lagi, Karin ga merasakan hal yang dirasakan kebanyakan cewek di dekolahnya itu.
"Yin, nanti siang lo ada acara, ga?" Tanya Jeno.
Karin berpikir sebentar sebelum menggeleng pelan. "Kenapa?"
"Temenin gue nonton baseball, ya?"
"Baseball? Gue ga ngerti, Jen."
"Ayolah. Temenin gue aja. Gue udah beli tiketnya,"pelas Jeno. "Kali ini aja, jangan nolak," lanjutnya. Karin merasa semakin ga enak sama Jeno. Udah banyak kali Jeno ngajak Karin jalan, dan kebanyakan Karin nolak. Dia kayak punya 1001 cara buat nolak ajakan Jeno.
Akhirnya Karin mengangguk sebagai jawaban. Dan kemudian terdengar pekikan senang dari Jeno.
Karin jadi kayak liat dirinya sendiri. Gimana senengnya dia waktu Guanlin ngajak jalan kemaren. Ya, walau akhirnya ga jadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
P A I N F U L ✘ [RE-PUBLISH]
Teen FictionMencintai dan Dicintai adalah manusiawi. Tapi apa yang terjadi jika kalian dicintai sekaligus mencintai dua orang yang berbeda dalam waktu yang sama? Sama seperti Karin yang diharuskan memilih antara Jeno, laki-laki yang secara terang-terangan menga...