1%

9.4K 997 33
                                    

Iqbaal berdecak dengan kesal, ia ingin pergi saja dari negara ini. "Iqbaal udah besar, Ma. Iqbaal bisa buat milih pasangan Iqbaal sendiri, kenapa harus pakai acara perjodohan-perjodohan kayak gini?" keluh Iqbaal dengan kesal.

Mama Iqbaal yang tengah memotong bahan makanannya pun seakan-akan menghiraukan decakan kesal anak laki-laki tertuanya ini."Kamu sudah Mama kasih waktu ya, Baal. Tapi, apa? Kamu hanya sibuk kerja, kerja, dan kerja. Mama iri lihat teman-teman Mama yang sudah dapat cucu lucu, sedangkan Mama? Hanya bisa ngurusin anak Mama yang bahkan sudah bisa lakukan apapun sendiri," Mama Iqbaal membalikkan badannya menghadap Iqbaal yang menopang dagunya dengan raut wajah kesal, "lagian, Mama kan sayang sama kamu."

Iqbaal memutar kedua bola matanya dengan malas, ia masih stay di meja makan keluarga itu dengan raut kesalnya. "Iqbaal tetap nggak mau. Pasti akan ada saatnya, Ma, Iqbaal punya keluarga sendiri. Tuhan tidak pernah tidur."

Mama Iqbaal menghela napasnya dengan pelan, ia berkacak pinggang di hadapan anaknya, " iya, Mama tahu kalau Tuhan tidak pernah tidur, tapi kalau kamu hanya menunggu tanpa ada berusaha, itu sama aja dengan tidak ada. Mama curiga sama kamu, apa jangan-jangan kamu ini suka sama laki-laki?"

"Mama!"

"Ya, makanya ikutin Mama aja. Cantik kok gadisnya." Mama Iqbaal melihat anak laki-lakinya yang semakin kesal.

Iqbaal berdiri dari duduknya, ia menjadi tidak selera untuk sarapan."Tau ah! Iqbaal kesal," balas Iqbaal yang kemudian pergi tanpa salam kepada Mamanya.

Mama Iqbaal hanya menggelengkan kepalanya saat melihat putra tertuanya yang pergi begitu saja dengan raut wajahnya yang kesal. "Nggak jauh beda sama Bapaknya."

**

(Namakamu) datang dengan senyum paginya, ia membawa kopi yang baru saja ia beli, lalu beberapa camilan untuk menemani kerjanya. Jam kerjanya dimulai sekitar 10 menit lagi, tetapi dirinya akan selalu datang sesuai peraturan kantornya ini, 10 menit sebelum jam kerja dimulai sudah harus datang.

(Namakamu) meletakkan semua makanan dan minumannya di atas meja kerjanya, lalu mulai menghidupkan komputernya. Sembari menunggu komputernya hidup, ia harus mempersiapkan dokumen-dokumen yang akan dihantarkan ke 'Bos Maha Kuasa' itu. Deadline-nya memang besok, tapi jika bisa sekarang kenapa tidak?

Setelah terkumpul, ia melihat Aldo datang dengan semangat paginya."Ganteng banget, Do, baru dapat tontonan baru?" tanya (Namakamu) yang melihat Aldo meletakkan tasnya beserta minumannya.

"Yoi, full semuanya, (Namakamu)," jawab Aldo dengan kekehannya.

(Namakamu) menggelengkan kepalanya dengan pelan, ia pun berjalan menuju ruangan 'Bos Maha Kuasa' itu. Ketuk dengan pelan, untuk formalitas kesopanan saja kepada atasan, sebenarnya kalau tidak rasa hormat, (Namakamu) menggeserkan saja dokumen itu ke depan pintu si atasan dengan kaki dari tempat duduknya, biar atasan sendiri yang mengambilnya.

"Masuk."

Nah, kalau sudah keluar suara berarti sudah diizinkan. (Namakamu) membuka pintu itu dengan pelan, dan melihat si atasan yang wajahnya tidak mendukung untuk dijadikan pasangan hidup, ganteng sih, tapi nggak rela dipersunting orang yang paling kejam di dunia ini.

"Pak, saya bawa dokumen yang sudah saya persiapkan untuk besok," ucap (Namakamu) dengan sopan.

"Memang saya ada suruh kamu bicara?"

Kalau saja dia bukan bos, sepatu tingginya sudah melayang di kepala si bosnya ini. 'Baal, jangan buat gue marah, please,' batin (Namakamu) dengan tersiksa.

(Namakamu) memeluk dokumennya dengan erat, ia menahan rasa geramnya. "Maaf, Pak," balas (Namakamu) dengan pelan.

Iqbaal menghembuskan napasnya, ia masih fokus kepada komputernya. "Kamu ngapain ke sini? Kalau nggak ada perlu, sana keluar!"

(Namakamu) mengeraskan rahangnya untuk tidak berteriak di depan wajah si bos itu. "Kan saya sudah bilang, mau antarkan dokumen ke Bapak, tapi Bapak suruh saya diam," balas (Namakamu) dengan suaranya yang ia tekankan.

"Ya sudah, tinggal taruh di atas meja saya, tidak perlu pakai acara-acara berbicara sok ramah seperti itu! Gaji kamu tetap segitu saja."

(Namakamu) memang bukanlah gadis yang lahir dikeluarga preman, tapi ia lahir dari seorang ibu yang mempunyai keberanian melawan siapa saja yang menurutnya perlu untuk dilawan. (Namakamu) menatap bosnya dengan sengit, ia maju mendekati bosnya dengan dokumennya yang ia banting di atas meja itu.

Iqbaal terkejut, (Namakamu) tersenyum smrik. "Sopan santun, Pak. Sopan santun Bapak yang di mana? Karyawan datang bawa file bukannya disambut ramah malah dibentak-bentak! Emang lo kira ini perusahaan punya lo?"

"Emang perusahaan ini punya saya."

(Namakamu) lupa kalau perusahaan ini memang punya Iqbaal, oke, tukar topik. " Terus, lo harus sombong gitu? Wah.. sumpah gue nyesal mengabdi sama pemimpin kayak lo! Gue sabar-sabar aja nih di sini, kalau bukan karena pak Arsen yang suruh gue bertahan di sini, udah pergi duluan gue di sini!" ucap (Namakamu) dengan kedua tangannya yang mungil itu memukul meja Iqbaal.

Iqbaal bersedekap dada melihat karyawan itu mengamuk kepadanya, "sekarang, lo bisa keluar tanpa perlu takut amanah dari Ayah gue. Masih banyak yang bisa gantiin lo di dalam pekerjaan ini, ngerti?"

(Namakamu) melepaskan kedua sepatunya, ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Ia ambil dokumen tadi, lalu mengoyakkannya di depan Iqbaal. Iqbaal membolakan kedua matanya, (Namakamu) mengoyakkan dengan cepat kemudian melemparkannya tepat di wajah Iqbaal.

"MAKAN SAMA LO NIH DOKUMEN! GUE KELUAR!" bentak (Namakamu) dengan amarahnya, ia keluar dari ruangan Iqbaal tanpa sepatunya.

Pemimpin yang hanya tercengang dengan karyawannya.

**

Bersambung

Be a Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang