16%

7.2K 1K 171
                                    

"Kita ke Ancol, yuk, Baal. Gue udah lama nggak ke sana, mau lihat ada perubahaan nggak ya di sana?" ajak Salsha yang berada di samping Iqbaal yang tengah menyetir mobil.

Iqbaal tidak menanggapinya, pikirannya mengarah kepada kejadian tadi. Salsha yang terlihat gembira bisa berjalan berdua dengan Iqbaal membuatnya menyandung lagu-lagu yang dihidupkan itu dari mobil itu.

Tak lama kemudian, ia merasakan getaran di ponselnya membuat Iqbaal tersadar dari lamunannya, sudah berapa lama ia melamun. Iqbaal melirik Salsha yang tampak bahagia, ia pun melirik ke arah luar jendela mobilnya sebuah mini market, ia ingin membeli minum untuk menyegarkan pikirannya.

"Sal, kita pinggir dulu, ya? Gue mau beli kopi kaleng dulu di sana," ucap Iqbaal yang mulai menepikan mobilnya. Salsha pun menganggukkan kepalanya,"gue aja deh turun, lo di mobil. Ada yang mau gue beli juga di sana," balas Salsha sembari mengeluarkan dompetnya dari tasnya.

Iqbaal pun menarik rem tangannya, lalu mengeluarkan dompetnya tapi Salsha terlebih dahulu menahannya, Iqbaal menatap Salsha. "Pakai uang gue aja, ini sebagai ganti lo mau nemani gue jalan-jalan." Setelah itu Salsha turun dari mobil Iqbaal menuju mini market itu.

Iqbaal menghela napasnya dengan lelah, ia mulai mengambil ponselnya yang tadi bergetar. Satu pesan dari nomor tidak diketahuinya, Iqbaal membukanya.

Gue pulang ke rumah orang tua gue.

-(Namakamu)-

Iqbaal membaca pesan itu kembali, dan benar, (Namakamu) ingin pulang ke rumahnya. Iqbaal melempar ponselnya ke sembarangan arah. Menyandarkan kepalanya ke bangku kemudinya, ia memandang ke arah luar jendela mobilnya, dia hanya orang asing, bukan? Jadi untuk apa ia harus mengejar perempuan itu untuk tidak pergi.

**

(Namakamu) membuka lemari bajunya dengan airmatanya yang mengalir, dengan cepat ia mengambil baju-bajunya yang tergantung rapi di dalam lemari itu. Ia mengeluarkan kopernya, lalu memasukkan baju-bajunya ke dalam kopernya itu.

Ia terisak saat memasukkan baju-bajunya ke dalam kopernya. "Ya.. untuk apa lagi gue di sini? Nggak ada untungnya juga, kan?" isak (Namakamu) yang merapikan baju-bajunya.

Airmatanya berjatuhan di atas baju-bajunya, tapi tetap ia rapikan. "Lagian, pernikahan ini bu-bukan untuk selama-lamanya juga, kan? Kenapa gue harus nangis?" lanjut (Namakamu) dengan isakkannya.

Ia menutup kopernya, tak sengaja ia melihat cincin di jari manisnya. Cincin pernikahan mereka, cincin yang menandakan mereka telah bersatu menjadi sepasang suami-istri. (Namakamu) mengingat kembali betapa bahagianya orang tuanya melihat cincin ini telah tersemat di jari mereka.

(Namakamu) mengusap airmatanya, ia berdiri dari duduknya di atas ranjang itu. Ia mulai meletakkan kopernya di lantai kamarnya. (Namakamu) melepaskan cincin itu dari jari manisnya, susah, sangat susah. Ia ingin meninggalkan cincin itu di atas nakas kamarnya, tapi cincin itu susah sekali untuk dilepas.

"Lepas dong... lepas," isak (Namakamu) sembari menarik cincinnya. Tapi yang ia dapatkannya hanya jarinya yang memerah. Ia menyerah, perih di tangannya membuatnya menyerah.

Tak ada pilihan lain, ia harus segera pergi dari apartemen ini. Ia pun menarik kopernya bersama cincin yang masih melekat di jari manisnya.

Ia menuruni tangga apartemennya dengan kopernya yang ia angkat semampunya. Isakannya mengiring langkah kakinya.

"Hello, Everybody. Mama di sini."

(Namakamu) yang tengah mengangkat kopernya untuk turun dari tangga seketika menghentikan langkah kakinya, dia membolakan kedua matanya saat mertuanya datang.

Be a Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang