17%

7K 1K 130
                                    

Iqbaal menggendong (Namakamu) yang tertidur di dalam pelukannya, ia membawa (Namakamu) ke tempat tidurnya. Ia membaringkannya dengan lembut, memberinya selimut, dan merapikan bantal guling di sekitarnya.

Iqbaal menatap wajah cantik itu yang menangis akibat dirinya, ia merasakan hatinya sakit saat (Namakamu) menangis karena dirinya. Ia mengambil posisi di pinggir ranjang itu, mengusap dahi yang basah karena keringat itu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata apapun saat melihat tidurnya (Namakamu) yang terlelap.

Iqbaal mengusap airmata yang jatuh itu dari salah satu mata (Namakamu). Iqbaal merasakan dadanya sesak saat melihat istrinya menderita karena dirinya.

Ponselnya berbunyi nyaring membuat (Namakamu) sedikit bergerak karena terganggu, Iqbaal melihat itu seketika beranjak mengambil ponselnya. Ia melihat Salsha memanggilnya, Iqbaal mematikan seketika ponselnya, lalu meletakkannya kembali ke sofa itu. Ia bernapas lega saat (Namakamu) kembali tertidur dengan nyenyak.

Ia menghidupkan lampu tidur untuk (Namakamu), lalu menyetel suhu sejuk untuk kamarnya setelah cukup, Iqbaal mengunci pintu kamarnya. Ia akan membersihkan dirinya.

**

Salsha mendengar kembali operator itu mengucapkan kalimat yang sama, nomor Iqbaal tidak aktif. Salsha menatap sedih nomor Iqbaal yang tidak aktif itu, "gue kangen sama lo, Baal. Gue mau dengar suara lo sebelum gue tidur, tapi kenapa nomor lo nggak aktif?" gumam Salsha dengan sedihnya.

Salsha kembali menelpon Iqbaal, tapi kembali nomor itu tidak aktif. "Iqbaal, gue kangen." Salsha mengucapkannya dengan lirih sembari melihat foto Iqbaal yang tersenyum menatap kamera.

**

(Namakamu) membuka kedua matanya, ia tersenyum karena tidurnya nyenyak sekali sehingga mampu membuatnya tersenyum. Ia memeluk guling itu dengan senyuman paginya, lalu melepaskan pelukan itu, ia menguap kecilnya, merenggangkan kedua tangannya.

"Gila, ini tidur ternyenyak gue selama gue tidur, kalau gue tidur kaya gini terus, mungkin gue makin cantik kali, ya? Hehehehe.." (Namakamu) bangun dari berbaringnya. Ia mulai melihat di hadapannya ada tivi yang besar, ia menggaruk kepalanya. "Sejak kapan kamar gue ada tivi besar kaya gini?" tanya (Namakamu) kepada dirinya sendiri.

Ia melihat warna dinding kamar ini berwarna hijau lumut, (Namakamu) seketika teringat jika ini bukan kamarnya. Kedua matanya membola, ia mencoba mencari pemilik kamar ini, terlihat di sofa itu, Iqbaal tertidur.

(Namakamu) bernapas lega, ia mengusap dadanya namun ada sesuatu yang mengganjal di jarinya. Ia melihat kembali cincin yang susah payah ia keluarkan, kini terpasang dengan manisnya di sana.

Ia melirik Iqbaal yang juga memakai cincin itu, (Namakamu) tanpa sadar ia tersenyum. Ia mulai turun dari tempat tidur besar ini, ia teringat bahwa kedua perempuan paruh baya itu berada di dalam apartemen ini. (Namakamu) mengikat rambutnya sebelum ia turun, ia akan memasak sarapan untuk perempuan-perempuan itu.

Sebelum ia keluar dari kamar ini, ia menghampiri Iqbaal untuk dapat tidur di ranjangnya sendiri.

(Namakamu) menggoyangkan lengan Iqbaal, "Baal, pindah sana ke tempat tidur," ucap (Namakamu) membangunkan Iqbaal. Iqbaal tidak menjawabnya, ia masih tertidur.

(Namakamu) kembali menggoyangkan lengan Iqbaal,"Iqbaal.."

Iqbaal membuka kedua matanya, ia melihat (Namakamu) berada di dekatnya. "Apa?" tanya Iqbaal dengan suara beratnya yang serak.

"Pindah ke tempat tidur," ulang (Namakamu) dengan pelan. Iqbaal menyipitkan satu matanya saat melihat sinar matahari memasuki fentilasi jendelanya, lalu kembali menatap (Namakamu) dengan kedua matanya yang sayu karena baru bangun dari tidurnya.

"Mau ke mana?" tanya Iqbaal dengan suara seraknya.

"Ke bawah, mau masak," jawab (Namakamu) menatap Iqbaal.

Iqbaal hanya mengangguk sembari bangun dari tidurnya, ia akan pindah ke tempat tidur. (Namakamu) melihat Iqbaal yang memberantaki rambutnya dengan asal, ia tersenyum kecil saat Iqbaal membaringkan tubuhnya sembari memeluk gulingnya dengan erat.

(Namakamu) pun keluar dari kamar, Iqbaal menutup matanya dengan senyuman manisnya.

**

Iqbaal membuka matanya dengan malas saat ponselnya terus berdering, Iqbaal dengan kembali menutup mata mencari ponselnya setelah mendapatkannya, ia pun mengangkatnya.

"Halo," sahut Iqbaal dengan suaranya yang serak.

"Baal, lo dari kemarin kenapa nggak angkat telepon gue?"

Iqbaal dengan kedua matanya terpejam masih mendengarkan suara di ujung sana. "Gue capek, Sal jadi matikan hp. Kenapa?"

"Gimana? Gue bisa ke apartemen lo? Gue kangen sama Mama lo."

Iqbaal menggaruk kepalanya yang tidak gatal, " hari ini jangan dulu deh, Sal."

"Kenapa? Istri lo nggak izini kita ketemu?"

"Iya, gue nggak mau lagi kelahi sama dia." Iqbaal memang tidak ingin kelahi lagi dengan (Namakamu).

"ya ampun, istri lo lebay banget, deh. Lagian dia kan tau kalau kita sahabat, Baal."

Iqbaal membuka kedua matanya, ia berdecak kecil. "Gue juga nggak mau dia dekat sama cowok lain. Lagi pula, wajar kali istrinya jagain suaminya. Jangan ngomongin (Namakamu) kaya gitu," tegur Iqbaal mulai tidak suka dengan ucapan Salsha.

Salsha makin mengeratkan genggamannya di ponselnya, "sorry," balas Salsha lirih.

Iqbaal menghela napasnya dengan pelan, "ya udah, gue mau tutup ya, bye." Iqbaal pun mematikan teleponnya dengan asal, lalu melempar ke ranjang di belakangnya. Ia bangun dari tidurnya, sedikit merenggangkan badannya, dan mulai turun dari tempat tidurnya.

"Ayo, kerja cari nafkah!" gumam Iqbaal kepada dirinya sendiri.

**

Bersambung

P.S : Vote minimal 100 komentar minimal 30.

Be a Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang