28%

8.2K 1K 142
                                    

Alwan mencuci kedua tangannya di wastafel dalam kamar mandi restoran itu, wajahnya terlihat tampan apalagi dengan temaramnya lampu di dalam kamar mandi itu. Alwan mematikan keran itu, lalu menghembuskan napasnya dengan pelan, entah kenapa ia hari ini tidak bisa mengontrol emosinya.

Alwan menatap wajahnya di depan cermin itu, ia membasahi bibir bawahnya, lalu sekali lagi menghembuskan napasnya untuk menetralkan rasa emosinya setelah cukup, Alwan pun mengeringkan kedua tangannya.

Di saat ia tengah mengeringkan tangannya, ia melihat dari cermin di hadapannya, Iqbaal berjalan menuju wastafel di sebelahnya. Alwan melihat Iqbaal juga mencuci kedua tangannya. Seketika hening di dalam kamar mandi itu.

Kedua mata Iqbaal terarah kepada cucian kedua tangannya, Alwan melirik dengan tatapan dinginnya ke arah Iqbaal, lalu segera untuk pergi keluar dari kamar mandi itu.

"Gimana kabar lo, Wan?" tanya Iqbaal dengan suara beratnya, ia masih mencuci tangannya.

Alwan memberhentikan niatnya untuk keluar dari kamar mandi, ia kembali seperti posisi semula. Ia menatap Iqbaal melalui cermin di hadapannya. "Gue baik, tentu gue baik," jawab Alwan dengan senyuman kecilnya.

Iqbaal mematikan keran air itu, ia menatap Alwan dari cermin juga, Iqbaal menyunggingkan senyum kecilnya, "gue dengar-dengar, lo ditawarin sebagai pelatih atlet juga, ya? Nggak sia-sia lo latihan selama ini," ucap Iqbaal dengan suara beratnya.

Alwan mengeratkan genggamannya di tepi wastafel itu, ia menahan sebuah gejolak emosinya yang hendak meledak. Ia tidak menjawab, tetapi ia menatap Iqbaal dengan dinginnya.

Iqbaal pun menurunkan senyumannya, ia menatap dingin ke arah Alwan."Ada saatnya seseorang bisa berubah menjadi jahat saat miliknya diganggu, Wan." Kini Iqbaal benar-benar mengucapkan kata-kata yang sejak tadi ingin ia sampaikan.

Alwan membasahi bibir bawahnya, ia melihat mulai mengeluarkan aura permusuhannya."(Namakamu) bukan milik lo, Baal. Sejak pertama kali lo sambut Salsha dengan pelukkan, (Namakamu) bukan milik lo lagi, Baal. Dia milik siapapun yang bisa merebut hatinya," ucap Alwan dengan senyumannya.

Iqbaal mengepalkan salah satu tangannya,"sekali lo rebut dia, gue rela bunuh lo ditempat, Wan. Gue bersumpah, gue akan bunuh lo ditempat. Nggak ada lagi kata sahabat di antara kita, kalau lo rebut istri gue," balas Iqbaal dengan penuh penekanan.

Alwan bersedekap dada dengan senyuman meremehkannya. "Gue menunggu hari itu, Baal." Alwan melirik Iqbaal dengan remeh kemudian pergi meninggalkan Iqbaal seorang diri di dalam kamar mandi itu.

Iqbaal menatap kepergian Alwan dengan seluruh emosi yang ia tahan, ia pun mengalihkan tatapannya ke arah cermin di hadapannya. Iqbaal seketika meninju cermin di hadapannya.

PRANG!

Cermin itu pecah dengan sekali tinjuan Iqbaal, Iqbaal benar-benar menahan emosinya sejak tadi. Darah di buku-buku jarinya menetes dengan sedikit cepat, ia bernapas dengan memburu.

**

(Namakamu) kini berdua dengan Salsha, Alwan dan Iqbaal serentak ke kamar mandi sehingga membuat (Namakamu) dan Salsha berada berdua di meja ini. (Namakamu) melihat Salsha yang memandangnya dengan tatapan bencinya, (Namakamu) bersedekap dada sembari menatap Salsha dengan tenang.

"Jadi, lo masih perlu bukti kalau Iqbaal akan jadi milik gue?" Akhirnya, Salsha mulai mengeluarkan suaranya sembari meminum wine-nya.

(Namakamu) melihat Salsha menggoyangkan gelas wine itu dengan anggunnya, (Namakamu) tidak mengerti maksud dari menggoyangkan gelas itu, entah itu untuk bergaya atau ada gula yang belum merata ke seluruhannya.

"Lo udah berhasil membuktikan ke gue bagaimana murahannya lo sebagai seorang perempuan, Sal. Kepuasan apa yang akan lo dapat dari merebut Iqbaal dari posisi halalnya sekarang?" Kini, (Namakamu) menanyakannya dengan langsung.

Salsha menyesap wine-nya, lalu meletakkan wine itu di atas meja itu. "Kalau lo nggak ada di tengah-tengah kami, (Namakamu), gue dan Iqbaal akan nikah sekarang. Lo dan kehadiran lo sebagai istri Iqbaal membuat kami terpisah, (Namakamu). Lo kira Iqbaal benar-benar butuh lo jadi istri? Enggak, (Namakamu). Dia butuh pelampiasan nafsunya sebagai laki-laki karena kehadiran gue yang nggak ada di saat ini, lo hanya sebagai alat pemuas nafsu Iqbaal, (Namakamu). Jadi, jangan terlalu bangga waktu kalian melakukan hubungan suami istri."

(Namakamu) terdiam, dia mulai mengernyitkan dahinya. Salsha tersenyum,"dia kasih lo kalung, kan? Kalung itu bukan hanya lo aja yang dapat, (Namakamu). Lo hanya sebagai bahan uji cobanya sebelum merealisasikan ke gue."

Salsha mengeluarkan sebuah kalung dari tasnya, ia menunjukkannya kepada (Namakamu). (Namakamu) terkejut, Salsha tersenyum. "Itu sebabnya, gue berusaha keras untuk membuat lo pisah dari Iqbaal, Iqbaal milik gue."

Salsha meletakkan kalung itu tepat di hadapan (Namakamu), kalung yang sama dengannya. "Lo boleh ambil, gue nggak butuh," ucap Salsha dengan santainya.

(Namakamu) hanya dapat mengepalkan tangan mungilnya, Salsha kembali menyesap wine-nya sedikit kemudian menatap (Namakamu). "Dan malam ini, kami akan tidur sama kembali. Pasti lo udah baper banget, ya? Sorry, gue minta maaf atas nama Iqbaal. Bill-nya biar gue bayarin, see u tomorrow," lanjut Salsha sembari meletakkan beberapa uangnya kemudian pergi meninggalkan (Namakamu) sendirian di meja itu.

Ia menatap nanar ke arah kalung itu, ia bahkan berharap kalung ini memang sebagai hadiah pernikahan, tetapi ini hanya sebuah kepalsuan belaka saja. (Namakamu) merasakan dadanya sesak, ia merasakan sangat sesak.

(Namakamu) merasakan airmatanya jatuh tanpa ia sadari, ia malu dengan dirinya yang terlalu bahagia, ia lupa jika posisinya ini adalah seorang istri yang akan di ceraikan ketika Iqbaal sudah menemukan pasangan yang sesungguhnya. (Namakamu) tertawa dengan airmatanya yang jatuh.

Ia membawa kalung di meja itu, lalu beranjak pergi meninggalkan meja makan itu.

**

Iqbaal melipat jari-jemarinya yang berdarah itu dengan tatapan dinginnya, ia kini duduk di tepi ranjang itu, ia tidak ingin Salsha melihatnya terluka. Iqbaal menatap jendela yang menyajikan pemandangan pantai malam yang mulai redup.

Tak perlu waktu yang lama, (Namakamu) memasuki kamar mereka dengan keadaan sesaknya, ia terkejut saat Iqbaal telah berada di dalam kamar mereka. Iqbaal menatap (Namakamu) yang kini sudah di dalam kamar. Iqbaal menatap tajam (Namakamu).

(Namakamu) menggenggam erat kalung Salsha itu, Iqbaal berdiri dari duduknya, ia berdiri menghadap (Namakamu).

(Namakamu) melepaskan kalung itu dari lehernya, Iqbaal mengernyitkan dahinya. "Gue kembalikan kalung ini,"(Namakamu) melemparkannya ke bawah lantai itu, "gue nggak butuh hadiah."

Iqbaal melihat kalung yang khusus ia beli untuk (Namakamu) dibuang begitu saja ke lantai, ia menatap (Namakamu) dengan tidak mengerti.

"Nggak perlu ada acara pemberian hadiah di dalam pernikahan kita, boros uangnya, Baal mending untuk beli makan," lanjut (Namakamu) dengan sesaknya yang ia tahan.

Iqbaal mengambil kalung itu, ia merasakan sesuatu yang ia beri dengan hati kini dipatahkan begitu saja."Iya, seharusnya di dalam pernikahan ini pun kita nggak seharusnya bahagia," lirih Iqbaal sembari menatap kalung itu.

"Lo cinta dengan Salsha, kan? Gue sekarang mempersilahkan, gue berharap kalian bisa menyatu. Gue nggak mau jadi penghalang antar kalian, status kita akan tetap jadi suami-istri sampai waktunya tiba." (Namakamu) menggenggam erat kalung Salsha itu ke dalam tangannya.

Iqbaal menatap (Namakamu) yang kini menatapnya dengan beda, sangat beda. "Kita kembali seperti semula?" tanya Iqbaal dengan pelan.

(Namakamu) menganggukkan kepalanya, "kita kembali bangun perjanjian itu."

**

Bersambung


P.S: KOMENTAR MINIMAL 100, VOTE MINIMAL 200.

Be a Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang