3 hari kepergian Mami ke Eropa membuat Papi menjadi galau di rumahnya sendiri. Sebab, Mami melarang Papi untuk mengikutinya, jadi dengan pasrah Papi melepaskannya walau itu sangat membuatnya berat.
Baru hari pertama kepergian Mami, Papi terlihat murung,dia tidak seperti biasanya segar dengan aroma sabun yang menguar. Tapi kini, ia terlihat seperti orang putus cinta. Masih dengan berpakaian piyama, rambutnya berantakan, dan sedikit tersenyum melihat menantunya tengah berada di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk laki-laki di dalam rumah ini.
Papi duduk di kursi meja makan, ia menghela napas sembari menatap ponselnya. (Namakamu) dengan ligat meletakkan minuman untuk Papi, pesan Mami sebelum berangkat ke Eropa. Mami berpesan agar menyiapkan Papi vitamin, minuman yang sudah disimpan khusus untuk menghindari kolestrol, asam urat, lambung, dan berbagai jenis penyakit yang bahkan tidak menghinggapi Papi, sepertinya.
"Suami kamu di mana, (Namakamu)?" tanya Papi yang melihat (Namakamu) mempersiapkan sarapan untuk dirinya.
"Iqbaal masih tidur di dalam kamar, Pi. Kasian, dia kecapekan," jawab (Namakamu) yang telah melengkapi minuman pesanan Mami dan mempersiapkan sarapan untuk Papi.
"Bangunin dia, (Namakamu). Papi rasanya sepi kalau Mami nggak di sini, biasanya Iqbaal nemanin Papi kalau Mami lagi nggak ada di rumah. Papi boleh minta tolong, kan?" ucap Papi dengan wajahnya yang ia beri senyum sedikit. Iya, sedikit.
"Tunggu bentar ya, Pi. " (Namakamu) dengan celemeknya mulai sedikit berlari ke kamar Iqbaal.
Arsen menghela napas,"Kayla kenapa nggak telepon mas, sih?" tanya Arsen dengan murungnya.
**
(Namakamu) membuka pintu kamar Iqbaal, ia melihat Iqbaal masih tertidur dengan selimut yang masih melilitnya, dan bajunya yang tidak ia pakai. Ia bertelanjang dada.
(Namakamu) mendekati Iqbaal, ia naik ke atas tempat tidur. Iqbaal terlihat tertidur dengan nyenyaknya. "Baal, disuruh Papi temani dia tuh.. Katanya dia kesepian," gumam (Namakamu) sembari menggoyangkan badan Iqbaal.
Iqbaal tidak membuka matanya, tetapi ia melingkarkan tangannya di perut (Namakamu). Ia tidur di sana. (Namakamu) menyisir rambut tebal Iqbaal dengan jari jemarinya, ia merasakan kelembut rambut Iqbaal.
"Kasihan Papi, Sayang. Ayo, dong bangun.. . dia lagi galau ditinggal Mami." Kembali (Namakamu) membangunkan Iqbaal dengan lembut sembari menyisir rambut Iqbaal.
Iqbaal melepaskan pelukannya, kini ia menatap (Namakamu) yang tengah duduk sembari menyandarkan punggung mungilnya di kepala ranjangnya.
Iqbaal tersenyum saat melihat istrinya, "cium dulu baru mau bangun, " ucap Iqbaal sembari merentangkan kedua tangannya ke atas. (Namakamu) menundukkan kepalanya, ia mengecup dahi Iqbaal, lalu kedua pipi dan terakhir bibirnya. Iqbaal tersenyum.
"Ayo, temani Papi kamu. Kasian," ajak (Namakamu).
Iqbaal pun seketika bangun dari tidurnya, ia masih memakai celana tidurnya namun bertelanjang dada sehingga dada bidangnya terpampang jelas, Iqbaal memberantaki rambutnya dengan asal kemudian mengambil piyama tidurnya yang terlempar di lantai.
(Namakamu) mulai membersihkan tempat tidur yang sangat berantakan itu, ia turun dari tempat tidurnya kemudian mulai melipat selimut itu.
Iqbaal melihat istrinya yang tengah melipat selimut membuatnya dengan cepat memasang kancing kemeja tidurnya. Setelah selesai, ia menghampiri (Namakamu). Ia melingkarkan satu tangannya di pinggang (Namakamu), "biar aku yang beresin, kamu temani aku ke bawah. Jangan terlalu capek," bisik Iqbaal dengan pelan.
"Lipatin bentar selimutnya, biar nanti lebih mudah," balas (Namakamu) sembari kembali melipat selimut itu.
Iqbaal berdecak kecil, ia dengan tarikan lembutnya membawa (Namakamu) untuk meninggalkan selimut itu. "Dibilangin malah dibantah. Gak boleh bantah-bantah suaminya, dosa nanti," tegur Iqbaal yang menggenggam tangan (Namakamu).
(Namakamu) menghela napasnya saat Iqbaal dengan memaksa membawanya keluar dari kamar. Iqbaal tersenyum saat (Namakamu) dengan pasrah mengikutinya, ia menggenggam tangan istrinya dengan lembut.
"Selamat pagi, Pi," sapa Iqbaal sembari menuruni tangga dengan mengusap lembut tangan istrinya.
Arsen seketika menatap Iqbaal yang menuruni tangga. Arsen semakin tersenyum melihat anak lelakinya telah bangun, "abang lama banget bangun, Papi kan jadi harus nyuruh (Namakamu) banguni kamu," balas Arsen dengan suaranya yang menggema.
(Namakamu) seketika melepaskan genggamanya, ia hendak melanjutkan masaknya. Iqbaal menghela napasnya pelan saat (Namakamu) melepaskan tangan, ia melihat istrinya telah kembali ke dapur dengan sedikit berlari.
(Namakamu) mulai sibuk menghidupkan kompornya, ia akan memulai masakannya yang hampir jadi.
Iqbaal duduk di kursi meja makan sembari menatap (Namakamu) yang sibuk, lalu kembali menatap Papinya. "Tumben Mami minta liburan ke Eropa, Pi?" tanya Iqbaal menyatukan jari-jemarinya di atas meja makan.
Papi kembali murung, "Mami mengira kalau Papi itu selingkuh. Padahal waktu itu Papi lagi ada tamu, terus Papi mau kasih minuman, tapi tumpah di kemeja Papi jadi mungkin reflek si tamu bersihin baju Papi. Mungkin waktu Mami datang, terlihat kaya ciuman, padahal enggak." Papi menceritakannya dengan wajahnya yang murung.
Iqbaal terkekeh kecil mendengarnya, "Mami kalau cemburu ternyata lebih ganas," gumam Iqbaal yang melihat (Namakamu) membawanya minuman air putih dan segelas susu cokelat. Iqbaal tersenyum kecil melihat (Namakamu) begitu telaten melayaninya.
Di saat tengah murung, deringan ponsel Arsen membuat Arsen seketika mengangkatnya.
"Halo," sahut Arsen dengan cepat.
"Halo, Mas. Lagi sarapan, ya?"
Arsen seketika tersenyum bahagia mendengar suara istrinya, "kalau nggak ada kamu, mana mungkin Mas bisa sarapan."
"Ya udah, lebih bagus jangan makan. Hemat uang bulanan."
Arsen menggelengkan kepalanya pelan, "Mas kangen sama kamu, La. Kenapa baru telepon sekarang?"
"Baru bisa megang hp, tadi lagi asyik di sini."
"Jangan lihat-lihat laki-laki lain. Ingat, kamu udah punya 3 anak, udah tua, udah mulai sakit-sakit."
"Bodo amat! Aku nikah siri di sini! Bye!"
"Kayla! La.. Kayla!" Seberapa banyak apapun Arsen memanggil nama istrinya, telepon itu tidak akan hidup lagi. Arsen meletakkan ponselnya di atas dengan malas, ia mulai sarapan.
Iqbaal menggelengkan kepalanya melihat orang tuanya, ia berdiri dari duduknya saat melihat (Namakamu) menyajikan sarapannya.
Iqbaal membantunya, ia mengambil piring itu kemudian meletakkannya di atas meja mereka. "Kamu duduk di sini, biar aku yang bawa ke sini," pintah Iqbaal kepada (Namakamu).
"Kamu aja yang.. Oke, aku duduk," ucap (Namakamu) yang seketika duduk saat melihat Iqbaal dengan tajam menatapnya.
Iqbaal mengacak lembut puncak rambut istrinya, lalu mulai ke dapur. Arsen menatap (Namakamu) senyuman gelinya, "ternyata benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Papi Arsen tertawa kecil.
**
Salsha membuka kedua matanya saat sinar matahari begitu menyengatnya, kepalanya sangat pusing dan tubuhnya begitu pegal dan sakit. Ia mencoba merenggangkan badannya, tetapi sesuatu yang berat membuatnya tertahan.
Ia mengernyitkan dahinya, ia melirik ke arah sampingnya, Salsha membelakkan kedua matanya saat melihat Alwan telanjang. Salsha melirik dirinya yang juga.. Astaga! Dia juga telanjang.
Salsha menepuk dahinya dengan, "kenapa bisa seperti ini?!" gumam Salsha yang begitu merasa bodoh.
Ia menutup kedua matanya, ia merasa sangat pusing saat melihat keadaannya.
**
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Little Family
FanfictionCover by : @-Ventum "Gue punya teka-teki buat lo." Iqbaal mengernyitkan dahinya. "Apa?" "Kenapa 'why' selalu 'always'?" tanya (Namakamu). Iqbaal tersenyum manis, "karna lo bego!" "Lo yang bego! Malah ngatain gue. "