Iqbaal mengusap wajahnya yang lelah akibat beberapa jam telah menatap komputer, ia melihat jam di pergelangan tangannya, jam telah menujunkan jam makan siang. Iqbaal pun bergegas berdiri dari duduknya untuk pergi ke suatu tempat makannya. Saat ia keluar dari mejanya, ia melihat kedua sepatu hak tinggi berwarna hitam itu tergeletak di sana.
Iqbaal mengernyitkan dahinya saat melihat sepatu itu, berjongkok untuk melihat pemilik sepatu itu.
"MAKAN SAMA LO NIH DOKUMEN! GUE KELUAR!"
Iqbaal ingat seketika siapa pemilik sepatu ini, Iqbaal mengambil kedua sepatu itu dengan senyum samarnya, ia meletakkannya di atas meja kerjanya dengan rapi. "Kayak Cinderella aja," gumam Iqbaal yang melihat kedua sepatu itu berada di atas mejanya.
Ia pun akhirnya keluar dari ruangan itu meninggalkan sepatu hak tinggi itu di atas mejanya.
**
(Namakamu) meringis kepanasan saat ia berjalan di pinggir jalan raya, pasalnya ia lupa mengenai sepatunya yang ia lepaskan tadi. Hingga sekarang, ia berjalan tanpa alas kaki sembari diiringi oleh tatapan-tatapan orang di sekitarnya.
"Sumpah! Ini adalah hari tersial dalam sejarah gue hidup. Mana panas lagi! Di mana semua orang ketika gue membutuhkannya?! Di mana?!" gerutu (Namakamu) dengan kesal.
Ia kembali berjalan dengan kakinya tanpa alas, mana ponselnya habis baterai pula. (Namakamu) menghembuskan napasnya, ia harus kuat menjalani aspal panas ini.
(Namakamu) dengan wajahnya yang terlihat bersemangat pun langsung berjalan tanpa menghiraukan pandangan yang lainnya, intinya dia harus sampai di rumah dengan selamat sentosa.
**
Iqbaal melonggarkan dasinya yang membuat dirinya merasa sesak, ia bernapas lega saat dirinya berada di dalam apartemennya sendiri, ia memejamkan kedua matanya saat hawa dingin mulai menyelimutinya.
Baru beberapa menit ia memejamkan matanya dan membaringkan tubuhnya, deringan ponselnya pun membuat Iqbaal akhirnya bangun dari tidur sementaranya.
"Hal—"
"Kamu di mana Iqbaal Putra Pratama?" sahut di ujung sana menyela ucapan Iqbaal.
Iqbaal melihat siapa yang menelponnya,'Mama'. Iqbaal pun kembali menyisipkan ponselnya di telinganya.
"Di apartemen, Ma. Kenapa?" balas Iqbaal dengan suaranya yang terdengar lelah.
"Kamu pecat salah satu karyawan kepercayaan Papa, ya?"
"Bukan dipecat, tetapi memecatkan diri. Lagian, dia memang kurang ajar sama Iqbaal," balas Iqbaal dengan sedikit heran dari mana Mamanya tahu mengenai kejadian hari ini?
"Dia nggak mungkin melakukan itu kalau bukan kamu yang mancing, benar, kan?"
Iqbaall mengernyitkan dahinya, "Ma, Iqbaal nggak—"
"Alah! Bohong."
"Iqbaal belum bicara apapun Mama!"
"Tetap aja kamu bohong! Kamu tahu nggak sih kalau yang kamu pecat itu siapa?"
"Iqbaal nggak mau tahu, intinya dia udah nggak sopan sama Iqbaal."
"Dia itu anak sahabat Papa. Susah tahu dapat karyawan kayak dia, udah pintar, cantik, baik, pengertian, mudah senyum. Nggak kayak kamu, kerjanya bikin Mama marah-marah aja terus."
"Oh, jadi dia masuk karena hubungan kekerabatan Papa sama temannya itu? Wah, pantesan aja dia berkelakuan seperti itu."
"Enak aja tuh mulut, Papa tahunya setelah dia diterima ya, Baal. Dia interview sendiri, lolos juga karena hasil dia sendiri bukan bantuan dari orang tuanya ataupun dari Papa. Kamu ini perlu Mama ruqiah kalik, ya? Takutnya ada iblis yang masuk ke kamu."
Iqbaal yang mendengar informasi itupun secara tidak langsung sedikit kagum juga, sudah beberapa tahun ini ia memegang kepemimpinan perusahaan ini, namun baru kali ini ia merasakan sebuah kejadian yang membuatnya tercengang.
"Ya, tetap aja dia salah. Dia koyak-koyakin dokumen penting untuk klien di depan wajah Iqbaal, bahkan dia lemparin gitu aja." Iqbaal juga kesal mengenai salah satu kejadian itu.
"Kenapa nggak sekalian meja kerja kamu aja sih yang dilempari ke kamu?"
"Mama masih marah sama Iqbaal karena tadi pagi?"
"Yoi."
Iqbaal menghela napasnya dengan pelan," Iqbaal minta maaf, Ma. Iqbaal salah karena nggak dengarin repetan Mama tadi pagi,"ucap Iqbaal dengan pelan.
"Mama mau maafin kamu kalau kamu suruh dia balik lagi kerja ke tempat kamu, Mama tahu sifat anak Mama itu seperti apa. Kamu itu nggak pernah sama sekali bener kalau ngomong sama karyawan, selalu aja ada kata-kata yang menyinggung – yang buat karyawan kamu tersinggung. Buktinya si (Namakamu), dia kayak gitu sama kamu karena siapa? Ya, karena kamu!"
"Salahin aja Iqbaal terus."
"Memang kamu salah! Intinya, kalau kamu tidak balikkan dia dalam 48 jam ini, kamu benar-benar Mama nikahin sama tetangga kita. Kamu tahu si Mayang? Yang janda empat anak itu? Mama nikahin kamu sama dia. Rasain!"
Iqbaal hanya bisa menutup kedua matanya, ia benar-benar lelah dengan Mamanya. "Ma," panggil Iqbaal dengan pelan.
"Apa?!"
"Iqbaal benaran anak Mama bukan, sih?"
"Kamu itu anak yang Mama dapat dari ciki-ciki."
Bagaimana Iqbaal tidak mencintai Mamanya seperti ini?
**
"Kan udah Mami bilang, perempuan itu bagusnya nikah. Ngapain coba kerja? Habis-habisin tenaga aja."
(Namakamu) melirik Maminya yang ada di hadapanya dengan tatapan sinisnya, Maminya terlihat tengah mengusap rambut suaminya di bawahnya dengan pahanya menjadi bantalannya.
"Terus, untuk apa aku kuliah sampai ber S- S an kalau ujung-ujungnya nggak kerja?"ucap (Namakamu) yang terlihat memijit betisnya yang pegal.
"Biar yang bersihin rumah masa depan kamu sarjanalah, kan keren. Ya kan, Sayang?" balas Mami (Namakamu) sembari menatap suaminya yang tengah menonton tv.
Papi (Namakamu) pun tersenyum melihat istrinya yang menatapnya, "pintarnya istriku."
"Papi!" pekik (Namakamu) kesal.
Papi (Namakamu) melihat anak pertamanya ini memanggilnya. "Apasih, Sayang? Kamu cemburu sama Papi?"
Mami (Namakamu) tertawa melihat wajah anaknya kesal. Papi (Namakamu) pun tersenyum melihat istrinya yang tertawa. "Makanya, kalau kamu mau ada yang belain, kamu nikah dong. Umur kamu sudah seharusnya menikah lho, Kak."
(Namakamu) menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi datarnya. "Mana jodohnya? Mana?! Sok-sok bilangin nikah. Mi, Pi, umur Kakak masih 25 tahun, udahlah, biarin Kakak cari jati diri dulu."
"Alah! Jati diri apaan coba? Memang kamu kera sakti yang mencari kitab suci? Udah deh, Kak. Kalau masalah jodoh itu gampang, asal kamu mau ikutin Mami sama Papi, semuanya akan beres. Iya kan, Sayang?" ucap Mami (Namakamu) dengan meminta persetujuan suaminya.
Papi (Namakamu) menganggukkan kepalanya sembari mengusap pipi istrinya dengan sayang. "Apa sih yang enggak untuk kamu?"
(Namakamu) memutar kedua bola matanya dengan malas," bisa nggak sih kalian jangan pacaran lagi? Kalian itu udah tua. T u a! Bukan anak abg lagi! Please deh!" ucap (Namakamu) sedikit kesal.
Mami (Namakamu) hanya menirukan ucapan anaknya, Papi (Namakamu) melihat anak tertuanya yang masih berwajah kesal. "Kakak kenapa sih kalau emosi jangan langsung main hantam? Nggak di sekolah, nggak di tempat kerja pasti ada aja kasus seperti ini. Kakak mirip sama Mami, langsung main hantam kalau nggak sesuai dengan hati. Heran Papi, kok bisa sayang sama kalian."
(Namakamu) melihat Maminya yang tertawa mendengar suaminya mengomel seperti itu. (Namakamu) pun ikut tertawa. "Sayang Papi Keynan."
**
Bersambung
P.S : YUK! KOMENTAR 20 MINIMAL. BAGI YANG INGIN LANJUT.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Little Family
FanfictionCover by : @-Ventum "Gue punya teka-teki buat lo." Iqbaal mengernyitkan dahinya. "Apa?" "Kenapa 'why' selalu 'always'?" tanya (Namakamu). Iqbaal tersenyum manis, "karna lo bego!" "Lo yang bego! Malah ngatain gue. "