(Namakamu) menatap Maminya yang tengah tersenyum bahagia, ia bersedekap dada. "Pokoknya, Kakak nggak mau nikah sama dia! Nggak mau!" tolak (Namakamu) dengan kesal.
Mami (Namakamu) melepaskan anting-antingnya, ia tersenyum dengan manisnya menatap dirinya sendiri di cermin itu. "Kak, nggak akan rugi tahu nikah sama dia. Dia baik, nggak neko-neko, dan ganteng, banyak uang pula. Kakak mau liburan keliling Eropa juga bakal dia jabani, rezeki itu tidak boleh ditolak," balas Mami (Namakamu) dengan riangnya.
(Namakamu) memberantaki rambutnya dengan kesal, "Mami! Umur Kakak itu 25 tahun, Mi. Bisa nggak sih biarian Kakak cari sendiri jodohnya? Di sini yang akan menjalani rumah tangga itu, Kakak. Ayolah, Mi," ucap (Namakamu) dengan wajahnya yang kesal.
Mami (Namakamu) menari kecil saat ia beranjak dari cerminnya, ia menari-nari layaknya tengah berada di klub malam.
(Namakamu) melihat Maminya yang pecicilan, "MAMI!"
**
"Apa sih, Bang? Nggak perlu teriak-teriak panggil Mama," sahut Mama Iqbaal yang tengah tersenyum merapikan rambutnya.
Iqbaal mengikuti ke mana Mamanya pergi, layaknya anak kecil yang polos mengikuti Ibunya ke pasar. "Ma, Abang nggak mau nikah sama dia! Banyak kan perempuan selain dia di muka bumi ini? Mama.. Abang nggak mau, Ma," rengek Iqbaal yang menarik baju Mamanya dari belakang.
Mama Iqbaal tersenyum bahagia melihat anak pertamanya yang sudah tidak tahu harus bagaimana. "masalahnya, orang tuanya yang bersahabat sama Mama dan Ayah itu cuma orang tua (Namakamu). Lagian apa kurangnya sih, (Namakamu)? Cantik? Pasti, Baik? Wah.. itu jangan ditanya lagi, rajin? Dia bahkan bisa masak. Bayangkan, Bang."
**
"Nggak mau! Pokoknya kalau Mami masih nekat juga jodohin Kakak sama dia, mending Kakak kabur dari rumah," ancam (Namakamu) dengan wajahnya yang terlihat serius.
Mami (Namakamu) hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan melihat anaknya mengancam dirinya. "Mau kabur kok dibilang-bilang," gumam Mami (Namakamu) dengan pelan.
(Namakamu) berdiri dari duduknya di sofa kamar orang tuanya, ia melihat Maminya masih melakukan ritual sebelum tidur. "Yang masih memaksakan kehendaknya untuk nikahin Kakak, Kakak nggak mau bicara sama kalian dan kabur dari rumah."
**
"... dan Abang nggak akan pernah lagi muncul di rumah ini lagi! Kecuali darurat." Iqbaal pun melemparkan ancaman terakhirnya dengan serius.
Mama Iqbaal hanya menaikkan kedua bahunya dengan tenang, "silahkan kalau itu mau, Abang. Tapi, jangan salahin Mama ya, kalau kamar Abang akan Mama rombak jadi kamar kos-kosan."
Iqbaal menatap Mamanya yang sudah tidak dapat lagi dijelaskan, ia memang perlu berencana untuk mengakhiri hidupnya jika seperti ini. "Bahkan Mama sudah mau rencanakan untuk ngusir Abang. Wah.. kasih sayang seorang Mama Abang memang sepanjang masa," gumam Iqbaal dengan tidak percaya.
"Ya, kali enggak."
Iqbaal sekarang tahu perasaan anak tiri yang sebenarnya.
**
(Namakamu) mengusap airmatanya dengan kasar, ia menangis di dalam kamarnya. Dia memang tidak ingin menikah, dia masih ingin bersenang-senang, masih ingin menikmati status single-nya, dan pergaulan anak muda.
"Kenapa sedih banget sih filmnya?!" pekik (Namakamu) saat ia menonton film Korea Train to Busan. (Namakamu) mengambil tisu yang ada di sampingnya, lalu mengelap airmatanya.
Dering ponselnya membuat (Namakamu) harus mempausekan film tersebut, dengan ingus yang sedikit mengalir kembali ia tarik lagi, ia mengangkat panggilan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Little Family
FanfictionCover by : @-Ventum "Gue punya teka-teki buat lo." Iqbaal mengernyitkan dahinya. "Apa?" "Kenapa 'why' selalu 'always'?" tanya (Namakamu). Iqbaal tersenyum manis, "karna lo bego!" "Lo yang bego! Malah ngatain gue. "