Iqbaal tersenyum melihat (Namakamu) tidur di dalam pelukkannya, ia menyingkirkan anak-anak rambut yang menempel di pipi berona itu, (Namakamu) menelusupkan kepalanya ke dalam pelukkan hangat Iqbaal, ia tertidur dengan nyenyaknya. Iqbaal pun mengetatkan pelukkannya, ia juga baru terbangun dari tidurnya yang nyenyak juga akibat kelelahan karena 'aktivitas' mereka. Iqbaal juga baru sadar bahwa matahari telah tenggelam ke ufuk barat, terlihat lampu-lampu pantai telah di hidupkan.
Saat Iqbaal akan melanjutkan kembali tidurnya, deringan ponselnya menghentikan niatnya. Iqbaal mencoba mengabaikan, ia tidak ingin diganggu dahulu, tetapi deringan ponsel itu kembali berbunyi bahkan membuat (Namakamu) terbangun karena deringan ponsel itu.
(Namakamu) melepaskan pelukkannya dengan Iqbaal, Iqbaal terpaksa melepaskannya walau ia merasa kehilangan. "Udah jam berapa?" tanya (Namakamu) dengan suara serak bangun tidurnya.
Iqbaal dengan malas mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menelponnya, (Namakamu) yang masih baru saja bangun kembali memejamkan kedua matanya, ia merasa mengantuk. Iqbaal melihat nama Salsha yang memanggil, Iqbaal hanya menghela napas kemudian mengangkat panggilan itu sembari membawa (Namakamu) ke dalam pelukkannya. (Namakamu) membuka kedua matanya dengan pelan saat Iqbaal mendekapnya dengan hangat.
"Iya, Sal?" sahut Iqbaal sembari mengusap puncak rambut (Namakamu).
(Namakamu) yang mendengar nama Salsha membuatnya membuka kedua matanya secara terang, ia teringat dengan kejadian siang tadi.
"Jadi, makan malam, kan?"
Iqbaal melirik (Namakamu) yang telah bangun dari tidurnya, matanya terlihat terbuka nyalang. "Iya, jadi. Gue sama (Namakamu) bakal nyusul, tunggu aja," balas Iqbaal dengan suaranya yang berat.
"Oke, gue tunggu, see u."
"Hmm..." Telepon itu pun berakhir, Iqbaal kembali melihat jam di ponselnya, lalu meletakkannya di samping nakasnya.
Iqbaal merasakan (Namakamu) melepaskan pelukkannya, ia melihat (Namakamu) duduk bersandar di kepala ranjang itu dengan selimut yang melilitnya. "Sekarang jam 7 malam, kita makan malam, ya?" ucap Iqbaal yang ikut bersandar pada kepala ranjang itu.
(Namakamu) menatap Iqbaal yang juga menatapnya, ia melihat Iqbaal tersenyum kepadanya selama ia bekerja dengan Iqbaal, tidak pernah sekali pun Iqbaal menunjukkan senyuman manis itu kepada siapapun kecuali keluarga dan Salsha. (Namakamu) menatap ke arah jendela yang menyuguhi pemandangan malam harinya pantai di Maldaveis.
"Baal, seberapa penting Salsha buat kamu?" tanya (Namakamu) yang masih menatap jendela itu.
Iqbaal mengernyitkan dahinya seketika saat (Namakamu) melemparkan pertanyaan mengenai Salsha, sahabatnya. Iqbaal pun melihat (Namakamu) yang menatapnya, (Namakamu) menunggu jawabannya. "Kenapa tiba-tiba bahas Salsha?" tanya Iqbaal kembali dengan raut wajahnya yang sedikit bingung.
(Namakamu) menatap Iqbaal dengan serius, "aku merasakan Salsha memiliki perasaan sama kamu," ucap (Namakamu) dengan serius.
Iqbaal yang mendengar itu seketika tertawa geli, (Namakamu) mengernyitkan dahinya.
"Salsha? Suka sama aku? Nggak mungkin, (Namakamu). Kami udah kenal dari kecil, dan itu nggak mungkin terjadi, lagian kenapa dia harus suka sama aku? Padahal masih banyak laki-laki yang kejar-kejar dia. Ngaco, ah!" balas Iqbaal dengan tawa gelinya.
(Namakamu) masih menatap Iqbaal dengan serius, ia melihat tawa geli itu belum juga hilang dari wajah Iqbaal. "Kamu punya perasaan sama Salsha?"
Iqbaal menatap (Namakamu) dengan heran, "ini kenapa, sih? Kenapa sampai perasaan-perasaan? Kan aku udah bilang, kalau aku sama Salsha itu dari kecil bersama, kami sahabatan, (Namakamu). Jadi...--"
"Jawabannya hanya ada iya atau enggak," sela (Namakamu) dengan cepat.
Iqbaal menatap kedua mata (Namakamu) yang tidak berpaling darinya, Iqbaal mencoba menggenggam (Namakamu), (Namakamu) mencoba menyingkirkan itu. Iqbaal melihat (Namakamu) menghindar darinya, ia pun menghela napasnya dengan pelan.
"Jawab pertanyaan aku, iya atau enggak," ulang (Namakamu) lebih tegas.
"Iya, aku punya rasa cinta dengan Salsha. Salsha cinta pertamaku," jawab Iqbaal dengan jelas.
Dan sekarang, (Namakamu) tahu bahwa dirinya masih berada di angka 0% untuk memulai suatu rumah tangga.
**
Alwan melihat Iqbaal dan (Namakamu) akhirnya datang juga, tetapi ia merasa di antara mereka tidak ada lagi senyuman seperti ia lihat di pantai itu. Ia melihat jarak di antara mereka, sebuah pembangunan tembok di tengah-tengah mereka.
Iqbaal tersenyum melihat Salsha yang juga tersenyum kepada Iqbaal, (Namakamu) duduk di sebelah Iqbaal dengan tenang, ia bahkan membuka buku menu itu dengan santai. Iqbaal mengeluarkan ponselnya, ia memainkan ponselnya.
Alwan melihat (Namakamu) serius dengan buku menu itu, lalu ia mengalihkan pandangannya ke arah Iqbaal bersandar pada bangku itu sembari memainkan ponselnya.
"Baal, gue hari ini mau rekomendasikan daging sapinya, di sini enak-enak," ucap Salsha dengan antusias.
Iqbaal meletakkan ponselnya di atas meja, lalu menganggukkan kepalanya kepada Salsha. "Pesan deh," balas Iqbaal sembari mengaitkan kedua jari-jemarinya. Ia menatap Salsha yang mulai memanggil pelayan, Iqbaal melihat pelayan laki-laki itu datang.
(Namakamu) menutup buku menu itu, ia menatap pelayan itu yang sudah siap mencatat pesanan mereka, setelah memberitahu pesanannya, pelayan itu pun kembali mengulangi setiap pesanan-pesanan yang mereka ucapkan tadi, lalu setelah memastikan pesanan itu, pelayan itupun akhirnya pergi.
(Namakamu) melihat lilin yang bersinar terang di hadapannya, ia menatap cahaya lilin itu dengan tangannya memegang gelas lilin itu, ia melihat api itu terlihat indah jika dipandang terus menerus.
"Katanya di sini ada jual souvenir gitu, ya? Temani gue dong, Baal," ucap Salsha yang menatap Iqbaal di hadapannya.
Iqbaal menganggukkan kepalanya dengan senyumannya,"besok kita ke sana," balas Iqbaal dengan senyumannya.
Salsha menganggukkan kepalanya dengan antusias. Alwa melihat (Namakamu) hendak menyentuh api itu seketika ia memegang tangan mungil (Namakamu), (Namakamu) pun menatap Alwan terkejut, Alwan menatap tajam (Namakamu).
"Sempat lo terluka karena api ini, gue tuntut restoran ini. Ngerti?" tanpa sadar Alwan mengucapkan kalimat ancaman itu dengan serius.
(Namakamu) terpaku mendengar suara peringatan itu, Alwan menghembuskan api itu dengan cepat, lalu meletakkan gelas lilin itu kembali dengan sedikit membantingnya dengan keras di atas meja.
Iqbaal melihat dan mendengar itu, ia melihat Alwan begitu marah saat (Namakamu) hendak bermain-main dengan api, ia melirik (Namakamu) yang terdiam karena ucapan Alwan tadi. Iqbaal menatap ke arah lain, ia mengeraskan rahangnya. Ada rasa ingin menghantam Alwan dengan sangat kuat, ia ingin mematahkan kedua kaki Alwan hingga membuatnya puas.
Iqbaal bersedekap dada, ia mengimajinasikan semuanya di dalam pikirannya, hatinya terasa panas.
Salsha melirik Iqbaal yang tidak lagi menatapnya melainkan sudah ke arah lain, Salsha kini menatap Alwan yang juga menatap ke arah lain, ia masih diselimuti dengan rasa amarahnya itu, ia memiringkan kepalanya dengan senyuman manisnya saat (Namakamu) menatapnya.
'Halo, (Namakamu).' Salsha mengucapkannya tanpa suara melainkan dengan gerakkan mulutnya. (Namakamu) melihat senyuman itu, senyuman kemenangan di hadapan Salsha.
'Bitch.' Satu kata dari (Namakamu) yang membuat Salsha melunturkan senyuman itu, kini (Namakamu) yang tersenyum manis ke arah Salsha.
**
Bersambung
P.S : UDAH LAMA YA KITA TIDAK BERSUA. MAU BAGAIMANA LAGI, MINRIK DI DUNIA NYATA MEMPUNYAI SESUATU YANG HARUS DISELESAIKAN. WQWQWQ..
YAK, MARI DI KOMENTAR MINIMAL 60, VOTE MINIMAL 100. BYE!
KAMU SEDANG MEMBACA
Be a Little Family
FanfictionCover by : @-Ventum "Gue punya teka-teki buat lo." Iqbaal mengernyitkan dahinya. "Apa?" "Kenapa 'why' selalu 'always'?" tanya (Namakamu). Iqbaal tersenyum manis, "karna lo bego!" "Lo yang bego! Malah ngatain gue. "