4%

7K 927 113
                                    

Iqbaal mengernyitkan dahinya saat mendengar informasi dari Andi. "Kok jadi gue yang disuruh minta maaf, sih? Yang salahkan dia, kok kena ke gue, sih?" tanya Iqbaal yang tidak terima dengan informasi yang baru saja ia dapatkan itu.

Andi menundukkan kepalanya, ia bingung harus bagaimana. Iqbaal menggigit bibir bawahnya dengan memandang ke arah surat permohonan kembali bekerja itu, seumur hidupnya tidak pernah ia meminta maaf kepada seorang perempuan, kecuali saudaranya dan Mamanya.

Tapi, ini dengan karyawannya? Iqbaal mengusap wajahnya dengan kasar. Kenapa masalah sepele ini begitu membuatnya menjadi sengsara seperti ini?

Andi berdehem kecil untuk dapat menyadarkan Iqbaal, Iqbaal hanya melirik kecil dengan wajahnya yang menderita memikirkan semua ini.

"Dan kata ibu (Namakamu), apa benar pak Iqbaal lagi sakit kanker?" Andi bertanya dengan rasa penasarannya yang tinggi.

Iqbaal hanya berdecak kesal lalu berdiri dari kursi kebesarannya, ia akan meminta maaf kepada perempuan itu jika itu kemauannya.

"Ayo! Kita pergi," ajak Iqbaal dengan melepaskan jasnya, ia menggulung kedua lengan bajunya hingga ke sikutnya, melonggarkan dasinya,, dan mulai berjalan ke pintu ruangannya.

Andi yang tengah berdiri pun segera mengikuti Iqbaal, "kita ke rumah sakit, Pak?" tanya Andi yang mengikuti arah jalan Iqbaal.

Iqbaal menghembuskan napasnya dengan lelah, ia berkacak pinggang satu kemudian menatap Andi dengan lelah. "Kita jalan tanpa banyak bicara, bisa?" Lalu Iqbaal berjalan terlebih dahulu sebelum mendengar jawaban Andi.

Andi pun dengan tergesa-gesa mengikuti arah perjalanan Iqbaal.

**

(Namakamu) melihat kondisi rumahnya yang telah bersih, kini tiba saatnya ia membuka laptop untuk mencari lowongan kerja yang sesuai dengan bidangnya, dengan kemeja putihnya yang kebesaran hingga menutup paha putihnya, dan celana jeans pendeknya. Rambutnya ia cepol dengan sembarangan, serta kaki yang ia naikkan satu seperti bapak-bapak di kedai kopi.

Dengan mulut penuh berisi makanan, ia mulai mencari lowongan kerja itu di ruang keluarga bersama dengan tv yang hidup.

"Kalau gue jadi astronot keren kali, ya? Hahaha.. Apaan sih! (Namakamu), kamu itu terlalu cantik untuk jadi astronot. Cukup jadi kasir-kasir IndoDesember aja, senyum dikit sama pelanggan kemudian hitung-hitung barang, ada cogan lagi belanja, buka dikit baju dan sip... gue langsung digampar sama Mami. Nasib," gumam (Namakamu) kepada dirinya sendiri.

Ia terus fokus kepada lowongan yang ia pilih sesuai dengan bidangnya.

TOK

TOK

TOK

"Siape lagi, sih?! Ganggu mulu!" gerutu (Namakamu) dengan kesal.

TOK

TOK

TOK

"SABAR WOI!" teriak (Namakamu) yang mulai beranjak dari zona nyamannya. Ia dengan kesal sedikit berlari menuju pintu utama rumahnya.

Tak butuh waktu yang lama, (Namakamu) pun membuka pintu rumahnya dengan raut wajahnya yang kesal.

"Siang, Bu."

(Namakamu) menyipitkan kedua matanya kepada dua laki-laki yang kini ada di hadapannya. (Namakamu) menyalakan aura musuhnya kepada laki-laki itu. "Siang," sahut (Namakamu) dengan ketus.

Andi menyingkirkan posisinya agar Iqbaal dapat berhadapan dengan (Namakamu) dengan leluasa. "Ini pak Iq—"

"Gue udah tau," sela (Namakamu) sembari bersedekap dada menatap sengit Iqbaal.

Be a Little FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang