Chapter 9

3.5K 337 83
                                    

SELAMAT MEMBACA.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

================================

Lima hari kemudian.

Di sebuah pedesaan nan asri. Seorang pria manis tampak sedang duduk di sebuah gubuk di tengah sawah. Seorang anak perempuan kecil tampak berlari pelan bersama seorang wanita paruh baya.

"Nona Bian, jangan lari-lari. Nanti jatuh", ucap wanita paruh baya yang memegangi tangan anak perempuan itu.

"Bian mau menemui papa. Bian ingin belmain dengan papa", ucap Bian. Mereka mendekati pria manis yang sudah berdiri dan juga mendekati mereka.

"Bian mengajak ibu kesini. Dia bilang ingin mengajakmu bermain di sawah", ucap wanita paruh baya itu. Pria yang tak lain adalah Arthit itu mengendong Bian dan membawanya ke gubuk yang tadi.

"Bian merindukan mama, huh?", tanya Arthit.

"Iya, mama. Bian melindukan mama. Bian juga mau melihat sawah", jawab Bian.

"Aww. Kau merindukan mama? Mama juga merindukanmu", ucap Arthit. Bian menganggukkan kepalanya.

"Ibu kembali kerumah ya, nak. Masih ada yang harus ibu lakukan di rumah", ucap wanita paruh baya itu.

"Iya bu. Sebentar lagi kami juga akan pulang. Matahari sudah terik", jawab Arthit. Wanita paruh baya itu pergi meninggalkan Arthit dan Bian.

"Mama..... Sawah ini punya mama?", tanya Bian.

"Bukan, sayang. Ini punya paman Wooranit", jawab Arthit.

"Oooo... Tapi mengapa mama duduk disini kalau ini bukan punya mama? Mengapa mama tidak duduk di kebun mama saja?", tanya Bian khas anak kecil yang selalu ingin tahu.

"Mama ingin bertemu dengan paman Wooranit, sayang. Tapi ternyata paman Wooranitnya tidak ada di sini", jawab Arthit.

"Lebih baik kita kembali saja kerumah. Nanti princessnya mama hitam karena panas", ucap Arthit sambil menunjuk keluar gubuk yang sinar mataharinya sangat menyengat.

Arthit dan Bian pun berjalan kembali menuju kerumah. Di perjalanan, Arthit dan Bian tampak mengobrol bersama dan terkadang tertawa bersama.

"P'Arthit kha", sapa seorang wanita cantik.

"Nong Mook", ucap Arthit saat melihat wanita itu mendekati mereka. Wanita itu tersenyum manis.

"Mama....", teriak Bian saat melihat wanita yang di panggil Mook itu. Mook tersenyum pada Bian.

"Aku ingin menggendongnya, phii", ucap Mook. Arthit menyerahkan Bian pada Mook. Mook menggendong Bian.

"Aw.... Princessnya mama sudah semakim besar dan berat. Pasti di kota princessnya mama banyak makan ya?", ucap Mook sambil mencubit pelan pipi kiri Bian dengan gemas.

"Bian banyak makan. Bian ingin cepat besal. Bian ingin membantu mama, eh papa bekelja", jawab Bian. Mereka terus mengobrol apa saja sampai kerumah. Bian banyak bercerita apa saja pada Mook. Mook dan Bian sudah seperti ibu dan anak. Bahkan pernah ada beberapa orang menyangka jika Mook dan Arthit adalah pasangan suami istri. Saat Arthit di usir karena hamil, Mook lah yang sering membantunya. Mook juga sering menjaga Bian saat masih bayi. Saat Arthit pergi bekerja Mook yang menjaganya.

"Apa phii tidak berniat mencari mama untuk Bian? Bian butuh sosok mama untuknya", tanya Mook. Saat ini tinggal dia dan Arthit di teras rumah Arthit.

"Aw.... Kau masih menyukaiku, nong?", tebak Arthit. Mook menundukkan kepalanya malu. Bagaimana pun juga, Arthit adalah cinta pertamanya. Lebih tepatnya sebelum Arthit dan mamanya pindah ke kota.

After One Night StandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang