Chapter 25

2.6K 288 36
                                    

SELAMAT MEMBACA.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

================================

Keesokan harinya.

Usai sarapan bersama, bu Lee pergi mengantar Bian ke sekolah. Tak lama kemudian Kongpob pamit pergi ke warung untuk membeli sayur.

"Phii, aku pergi ke warung na", ucap Kongpob berpamitan pada Arthit.

"Kau mau ke warung?", tanya Arthit. Biasanya dia atau bu Lee yang berbelanja.

"Iya. Aku mau membeli sayuran", jawab Kongpob.

"Memangnya kau tahu dimana warungnya? Warung disini lumayan jauh. Bisa-bisa kau tersesat dan malah merepotkanku nanti", ucap Arthit ragu.

"Aku... Aku pernah melihatnya. Jadi aku pasti akan ingat arahnya", ucap Kongpob asal.

"Biar aku saja yang berbelanja. Kau tunggu saja dirumah. Aku tidak mau kalau harus mencarimu yang tersesat. Pasti merepotkan", ucap Arthit menghentikan kegiatannya mencuci. "Kau cuci saja piring-piring ini. Aku yang akan berbelanja. Memangnya kau mau beli apa? Biar aku belikan", ucap Arthit sambil bertanya.

"Ah...tidak perlu, phii. Aku bisa sendiri. Aku ingin belajar hidup mandiri. Selama ini aku selalu merepotkan P'Singto dan iparku. Jadi biarkan aku saja yang berbelanja hari ini na", bujuk Kongpob. "Ah...sebaiknya aku pergi sekarang. Phii lanjutkan saja mencuci piringnya. Aku pergi", ucap Kongpob lalu secepat kilat dia pergi meninggalkan rumah Arthit.

Kongpob berjalan ke sekolah Bian dan menunggu bu Lee di depan sekolah Bian. Dia tidak mau Bian melihatnya.

"Kau sudah datang?", tanya bu Lee saat sudah berada di samping Kongpob yang menunggu sambil bersandar di pagar.

"Khap, bu", jawab Kongpob.

"Kalau begitu ayo kita cari tempat untuk mengobrol", ajak bu Lee. Kongpob menganggukkan kepalanya. Keduanya berjalan cukup jauh dan berhenti di sebuah pondok yang sudah tampak tua. Mereka duduk disana. Keduanya terdiam sampai bu Lee mengelurkan sesuatu dari saku rok panjangnya.

"Ini", ucap bu Lee sambil menyerahkan sebuah foto pada Kongpob. Kongpob menerima foto itu.

"Ini P'Arthit?", tanya Kongpob saat melihat sosok yang ada di dalam foto itu. Bu Lee menganggukkan kepalanya.

"Mengapa P'Arthit bisa sampai sekurus ini, bu?", tanya Kongpob. Ada nyeri di dadanya melihat Arthit yang sangat dia cintai hanya tinggal tulang berbalut kulit dengan perut yang membesar.

"Itu saat kandungan Oon sekitar empat bulan. Untuk ke sekian kalinya, tuan Jirakit memaksa Oon untuk menggugurkan kandungannya. Namun Oon tetap tidak mau menggugurkan bayi yang tak berdosa itu. Oon di siksa oleh tuan Jirakit tanpa sepengetahuan nyonya, karena Oon di asingkan ke sebuah rumah di pinggir kota. Oon di kurung disana. Oon hanya di beri makan sekali dalam sehari. Tuan berharap dengan penyiksaan itu, bayi dalam kandungan Oon akan mati secara perlahan. Namun nyonya akhirnya mengetahui mengenai penyiksaan yang tuan lakukan. Nyonya dan tuan bertengkar hebat saat itu. Bahkan nyonya menggugat cerai tuan, namun karena tuan terlalu cinta, lebih tepatnya dia terlalu terobsesi pada nyonya. Gugatan cerai itu di tolak oleh tuan", ucap bu Lee menjeda ucapannya.

"Tuan melakukan berbagai cara agar nyonya tidak jadi menceraikannya. Akhirnya nyonya menyerah dengan syarat bayi di dalam kandungan Oon di biarkan tetap hidup. Tuan yang terlalu terobsesi dengan nyonya itupun menyetujui syarat itu. Tapi tuan juga memberi syarat pada nyonya. Oon di hapus dari kartu keluarga dan nyonya tidak diizinkan untuk bertemu lagi dengan Oon. Nyonya yang tak bisa melakukan apa-apa itupun menyetujui syarat itu. Nyonya tidak memiliki kekuasaan jadi nyonya menyetujui syarat itu. Bagi nyonya, yang terpenting adalah Oon. Dia ingin Oon tetap hidup dengan anak yang ada di dalam kandungannya. Meskipun Oon di siksa oleh tuan, dia tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk mempertahankan bayi didalam kandungannya", ucap bu Lee sambil terisak saar kilasan masa lalu Arthit berputar di ingatannya.

After One Night StandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang