20. Psikopat

164K 11.2K 3K
                                    

"Halo, Dhafian. Selamat pagi."

Faren menghempaskan pantatnya di samping Dhafian sambil membawa susu dan roti stroberi seperti biasanya. Untung saja Faren tau di mana Dhafian berada selain di kelas.

"Gue cariin lo di kelas nggak ada. Taunya di sini," kata Faren mengikuti arah pandang Dhafian ke layar ponselnya, "Kenapa sih kok lo suka banget ke taman ini? Emang ada yang spesial ya?"

"Ada."

"Apaan emang?"

"Kepo."

Faren mencebikkan bibirnya sambil mengerucut. Ia menatap susu dan roti stroberi pemberian Kahfi yang ada di tangannya. Setiap pagi, saat Faren menaruh tas dan akan pergi ke kantin untuk membeli kedua makanan itu, justru itu semua sudah tersedia di mejanya. Kalau seperti ini terus ia jadi tidak enak pada Kahfi.

"Nih." Faren mengulurkan tangannya, "Kali ini lo harus terima pemberian gue, karena besok gue nggak akan ngasih lagi."

"Kenapa?"

"Kenapa maksudnya?" Faren mengerutkan keningnya, sedikit aneh dengan pertanyaan Dhafian.

"Nggak."

Faren menggerutu, Dhafian selalu seperti ini, tidak jelas dan omongannya selalu tidak nyambung.

"Habis ini lo udah punya pacar, gue nggak bisa ngasih ini lagi yaaah." Faren menunduk, menatap kedua makanan itu.

"Eh iya, nanti rencananya buat nembak Kailsa gimana?" Faren kembali menatap Dhafian. Sedangkan cowok itu hanya diam saja, seperti tidak berminat. "Tapi nanti habis pulang sekolah ada latihan dance buat lomba. Ya walaupun kelas 12 udah nggak boleh ikut, tapi gue sama Kailsa jadi tentor mereka."

"Terus gimana dong?" Faren mengetuk ngetukkan jarinya di pelipis, "Jam 7 an aja gimana? Di kafe Orilla?"

"Yaudah terserah," jawab Dhafian dengan wajah datar seperti biasa.

"Senyum dong, yang lebar kayak gini nih." Faren menunjukkan senyuman lebarnya sebagai contoh, "Kan habis ini lo udah berhasil dapetin Kailsa."

Dhafian hanya diam, sok sibuk dengan ponselnya padahal ia hanya meng-scroll timeline-nya.

"Kalo gitu gue sama Kahfi booking kafenya jam 7 ke atas. Biar lo bisa leluasa nyatain perasaan tanpa dilihatin orang kafe."  Faren menepuk pundak Dhafian.

"Gue yang ngejalani tapi kenapa lo yang ribet sih?" Dhafian geram, "Emang urusan lo udah bener sampai harus ngurusin orang lain?"

"Biasa aja sih. Gue kan cuma mau bantuin." Faren membenarkan duduknya, sedikit menggeser pantatnya menjauh dari Dhafian, "Kalo nggak mau yaudah."

Saat Faren akan berdiri, tiba tiba Dhafian mengambil susu dan roti stroberi yang ada di pangkuan Faren. Ia membuka bungkus sedotan, menusukkanya di susu kotak itu lalu menyedotnya hingga habis.

Faren dibuat melongo olehnya. Dhafian memakan roti itu hingga habis, yang tersisa hanya bungkusnya saja.

"Makasih." Faren tersenyum kaku, ia berdiri dari duduknya, hendak melangkah, namun sebuah tangan menariknya membuat Faren refleks kembali terduduk.

"Eh." Faren menelan air liurnya, ia menatap tangan Dhafian yang masih memegang lengannya.

"Gue pengen lakuin hukuman itu sekarang aja," ucap Dhafian menatap mata Faren lekat lekat.

"Sekarang?" Faren melongo, ia menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Kailsa, tapi cewek itu tidak ada, "Tapi Kailsa nya nggak ada."

"Bukan Kailsa, tapi lo."

The Cruel BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang