44. Hari Buruk

121K 10.3K 2.1K
                                    

Jam menunjukkan pukul 7 malam lebih 25 menit. Faren berjalan memasuki rumah sakit Marina Medika setelah mendapat telfon dari Kahfi bahwa ia menyuruhnya ke sini tanpa memberi tau alasan yang jelas.

Faren berjalan mendekati ketiga cewek dan 1 cowok yang sangat ia kenali sedang duduk di depan ruang operasi. Ia mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi keempat orang itu nampak sedih dan lesu.

"Kahfi," panggil Faren. Bukan hanya pemilik nama saja yang menoleh, ketiga cewek itu ikut menoleh.

"Ini ada apa?" tanya Faren dengan degup jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya.

"Almeta kecelakaan," jawab Ginza dengan lirih.

Faren melebarkan matanya mendengar kabar itu. Walaupun Almeta sudah mengkhianatinya, tetapi entah kenapa ia jadi turut sedih melihat bencana menempa dirinya.

"Gak usah sok kaget deh," celetuk Kahfi sambil berdiri dari duduknya.

"Maksudnya?"

"Faren," panggil Miska membuat Faren kembali menoleh ke arah cewek itu.

"Gue tau lo benci sama gue, Far. Gue tau lo bales dendam ke gue karena gue udah nyebar gosip yang nggak bener kan?" Miska berbicara dengan kilatan kesedihannya, "Tapi gue minta tolong sama lo, nggak usah bales dendam lewat sahabat gue, Almeta."

"Gue nggak--"

"Gue minta maaf, Faren." Miska terduduk di depan Faren, membuat cewek itu terkejut dengan tindakannya.

Miska menengadahkan kepalanya, "Gue tau gue salah, gue nyesel udah ngelakuin ini semua. Kalo lo mau bales dendam, ke gue aja, jangan ke temen temen gue," ucapnya dengan air mata yang terus keluar.

"Miska, lo nggak perlu kayak gini," kata Faren sambil membantu Miska kembali berdiri, "Gue nggak pernah ada niatan mau bales dendam. Gue juga baru tau kalo Almeta kecelakaan."

"Pembunuh ngaku ya penjara penuh!" cibir Kahfi dengan kekesalannya. Kini ia menghampiri Faren yang mematung di tempat.

"Kata orang tua gue, Mama lo tuh dulu jahat banget, Papa lo juga lebih jahat. Orang tua lo itu selalu ngerusak kebahagiaan orang lain, termasuk orang tuanya Dhafian." Kahfi menarik nafasnya sejenak, "Ternyata sifat itu nurun ke anaknya ya."

Dada Faren sangat sesak, air matanya sudah menggenang di kelopaknya. Apakah seburuk itu orang tuanya di mata mereka? Sampai sampai mereka terus terusan menghujatnya?

"Kenapa diem?" Kahfi mengulum senyumnya melihat Faren tidak bereaksi sama sekali, "Nggak mau ngebela diri kalo lo tuh nggak salah?" sindirnya.

Faren menatap kedua bola mata Kahfi, "Segampang ini lo nganggep sahabat lo sendiri pembunuh? Segampang ini lo percaya sama mereka? Lo nggak percaya sama orang yang udah nemenin lo selama 2 tahun lebih ini?"

"Nggak selamanya yang baik selalu baik, dan nggak selamanya yang buruk selalu buruk."

Faren meremas kedua kepalan tangannya, ia menggertakan giginya karena emosinya sudah memuncak, "Lo anggep gue ini apa sih sebenernya?"

"Dulu, sahabat. Kemarin, pacar. Sekarang, lo bukan siapa siapa gue," jawab Kahfi dengan senyuman kecilnya.

Faren mengusap air matanya dengan kasar, "Omongan lo mana yang katanya nggak nyakitin gue? Omongan lo mana yang selalu dukung gue gimanapun keadaannya? Bullshit, tau nggak?!"

Faren meremas bajunya sendiri untuk menahan emosinya yang sudah meluap. Ingin rasanya ia melampiaskan emosinya ke benda benda yang ada di sekitarnya.

Faren menatap Miska dan Ginza dengan nyalang, "Gimana? Udah puas lo ngefitnah gue? Udah puas lo buat hidup gue menderita? Udah seneng lo lihat gue kayak gini?"

The Cruel BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang