34. Lipstik

128K 11.3K 1.4K
                                    

"Loh ini anak saya kenapa, Pak?"

Tanya Keysa dengan wajah khawatirnya melihat Dhafian meringis berkali kali.

"Dia tadi nyelametin anak kecil yang hampir tidak sengaja saya tabrak, tapi dianya yang malah kena tabrakan saya. Anak kecilnya baik baik aja," jelas bapak itu dengan wajah menyesalnya.

"Biar saya bawa obatin dia Pak," kata Faren lalu menggantikan posisi bapak itu. Ia menuntun Dhafian dengan perlahan walaupun ia sendiri juga kesusahan karena tubuh Dhafian yang berat dan jalannya yang terseok seok.

"Bawa ke kamar Mama aja." Dhafian berbicara, Faren langsung menurutinya.

Sesampainya di kamar Keysa, Faren mendudukkan Dhafian di kasur. Sedangkan pemilik kamar itu sendiri sedang berbicara dengan si penabrak itu.

"Kotak P3K-nya di mana?" tanya Faren dengan wajah khawatir.

"Di kamu."

'Di mana?" kesal Faren karena Dhafian tidak serius.

Dhafian langsung mengalihkan pandangannya dari Faren, "Cari aja di laci laci."

Dengan gerak cepat, Faren mencarinya di laci laci meja maupun lemari. Akhirnya ia menemukannya dan membawanya ke Dhafian. Ia membuka kotak itu, lalu mengambil alkohol untuk membersihkan kotoran di pinggir pinggir lukanya. Setelah itu, ia mengambil revanol, menuangkannya di kapas, lalu menempelkannya di bagian tangan Dhafian yang terkena luka.

Setelah Faren mengobati semua luka yang terdapat di tangan Dhafian, termasuk dahinya, ia mengembalikan kotak P3K itu ke tempat asalnya.

"Faren," panggil Dhafian membuat cewek itu menoleh, sekaligus ia tercengang karena Dhafian memanggil namanya.

"Ambilin sepatu di atas lemari itu," suruhnya sudah seperti majikan.

"Buat apa?"

"Mau gue jual."

"Emang itu sepatu punya lo?"

"Iya. Udah lama nggak gue pake."

"Yaudah, iya." Faren menurutinya, dan tidak mungkin menyuruh Dhafian mengambil sendiri karena luka yang masih basah itu.

Faren menarik kursi yang besar dan tinggi ke depan lemari baju, lalu menaikinya. Sayangnya, tangannya tidak sampai meraih box kotak yang berisi sepatu itu. Ia meloncat loncat, padahal kurang sedikit lagi ia akan berhasil mendapatkannya.

"Makanya punya tubuh jangan kecil kecil," celetuk Dhafian yang masih duduk di tepi kasur.

"Dari lahir kan udah gini!"

"Kebanyakan dimanja sih, makanya nggak tumbuh tumbuh."

Faren meliriknya sinis, lalu kembali melompat lompat lagi dan berjinjit dengan susah payah. Namun yang ada hanya hembusan nafas kasar yang keluar dari mulut Faren.

"Mau lo loncat loncat sampe oppa oppa nikahin lo nggak bakalan bisa dapetin box itu!" cecar Dhafian lagi.

Faren memilih untuk turun, lalu mengambil kursi lagi yang lebih kecil, sehingga dapat ditaruh di atas kursi yang berada di bawahnya. Dengan jantung yang berdetak lebih cepat karena takut jatuh, ia tetap memberanikan diri untuk menaiki kursi itu.

Dhafian berdiri dari duduknya, lalu memegangi kursi yang paling atas, "Gak usah takut, udah gue pegangin."

Faren menoleh sejenak, lalu kembali menatap kursi itu. Ia sangat berhati hati menaikinya. Terdengar suara nafas yang ngos-ngosan saat ia sudah sampai di kursi paling atas. Ia tidak bisa membayangkan kalau ia jatuh dari sini, mungkin pantatnya akan menjadi kempes.

The Cruel BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang