Seraya mengikat jaket yang mengitari pinggangku, aku berdecak sebal.
Jadi ceritanya, hari ini aku janjian ketemuan sama Pak Bolin. Berhubung punya temen jago komputer tapi ngebanyol terus—Bobby, Wonwoo, ini gue lagi nyindir kalian berdua!—jadinya agak kurang beneficial gitu, akhirnya aku bela-belain minta dua jamnya Pak Bolin yang berharga buat ngajarin aku cara main SPSS.
Oleh sebab itu, pagi-pagi banget aku udah nyampe stasiun. Ngejar kereta paling pagi buat ke rumahnya Pak Bolin, soalnya jam sepuluh pagi beliau ada jadwal ngajar di kampus lain—lihat, 'kan? Betapa mahalnya waktu Pak Bolin.
Tapi, entah karena nasibku yang lagi nggak hoki—emang aku pernah hoki, ya?—tiba-tiba aku bocor like literally bener-bener 'tembus'. Duh, kalian pasti paham, 'kan, bocor yang aku maksud?
Untung aja aku selalu siap sedia pembalut di tas kuliah yang butut ini.
Dan, beruntungnya Pak Bolin nggak ngeh waktu aku tiba-tiba masang jaket di bagian pinggangku pas keluar dari toiletnya dia. Tengsin banget, dong, kalau sampai ketahuan. Mana kebetulan banget hari ini aku lagi pakai celana bahan warna putih.
Nggak mungkin aku bilang, "Duh, Pak, tadi nggak sengaja dudukin sirup marjan rasa cocopandan."
Ya ilah.
Well, intinya setelah kuliah pendek tersebut berakhir, aku langsung buru-buru pamit. Tadinya memang ada rencana pengen sekalian main ke rumah Rose—mumpung lagi di satu daerah yang sama—tapi gara-gara dapat musibah begini, boro-boro main. Udah nggak mood ngapa-ngapain.
Pengennya ganti celana, aja.
"Ya ampun, Soo. Celana lo kan masih ada di rumah gue waktu tahun kemarin nginep. Pinterrr, pinter."
Aku tersenyum masam seraya mengeratkan genggamanku pada ponsel di telingaku. "Yah, udah terlanjur naik kereta...."
"Tanggung banget ih langsung pulang." Helaan napas terdengar jelas dari speaker ponselku.
Ingin rasanya aku menghujat diri sendiri. Aku lupa kalau dulu pernah nginap di rumah Rose, bajuku ketinggalan di sana. Nggak kepikiran banget.
"Kapan-kapan aja mainnya, yaa," kataku seraya memilin ujung jaketku.
"Ya udah.... Titi dj, yaa."
"Iyaa, Rosalinda."
"Udah, HP-nya taro tas. Nanti ketinggalan di bangku kereta, lagi."
Aku memutar bola mataku kemudian terkekeh pelan, "Kenapa lo jadi kayak nyokap gue begini, sih?" tanyaku seraya bangkit dari posisi dudukku, mempersilahkan penumpang lansia yang baru masuk untuk duduk di tempatku.
Dari segala hal yang aku punya di dunia ini, aku bersyukur punya sahabat kayak Rose. Rose itu kayak rezeki yang dikirimkan Tuhan buat aku yang harus aku jaga baik-baik.
Nggak kebayang, sih, kalau aku nggak sekelas sama Rose waktu SMA, mungkin kita nggak bakalan bisa sahabatan sampai sekarang. Dan aku nggak bakalan bisa sekuat sekarang.
Rose itu... anugerah terindah yang pernah kumiliki, deh, pokoknya.
Jadi pengen dengerin lagunya Sheila on 7.
Setelah menutup pembicaraanku dengan Rose via telepon, aku mengambil headsetku dari dalam tas. Berdiri mendengarkan musik seraya menunggu bangku kereta di depanku ini kosong untuk aku tempati.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Logical Reasons Why Lecturer is Always Right
Fanfiction"Pak, kenapa dosen selalu benar?" "Kalau salah mulu, mana bisa jadi dosen." Siapa yang menyangka jika nama Park Sooyoung tercantum dalam barisan nama mahasiswa fakultas Psikologi yang masuk ke dalam bimbingan dosen yang paling tidak ingin dia temui...