Cinta itu pembodohan, begitu kata Bobby. Walaupun sembilan puluh persen kata-katanya itu nggak ada yang bisa dianggep serius, tapi saat itu aku diam-diam menyetujuinya. Cinta itu buta. Bukan orangnya yang buta, tapi cinta yang membuatnya buta.
Selama dua puluh satu tahun aku hidup, mustahil kalo aku nggak pernah ngerasain yang namanya suka sama cowok. Kecewa berkali-kali ngajarin aku untuk nggak menggantungkan harapan pada seseorang, terlebih pada sesuatu bernama cinta.
Seenggaknya cuma itu yang bisa kulakukan selama lima tahun terakhir ini. Sebisa mungkin aku nggak melibatkan diri dalam peliknya urusan percintaan karena, ya, ribet. Beban hidup udah berat, kuliah udah cukup bikin ginjal aku hampir tukeran posisi, jadi aku nggak mau repot-repot nyiksa diri dengan membiarkan diri sendiri dikecewakan untuk ke sekian kalinya.
Cuma orang bodoh yang terjatuh dalam lubang yang sama berkali-kali.
Iya, aku emang bodoh. Tapi yang perlu mereka tau, berusaha untuk nggak terjatuh di lubang yang sama itu nggak gampang.
Lagipula, hidup itu nggak melulu soal cinta-cintaan.
Tapi sekeras apapun usaha aku buat menghindar, pada akhirnya aku terlibat juga dengan hal-hal kayak gitu—lagi.
Hah, pikiranku udah nggak karuan setelah ketemu Kak Yoona.
Kim Taehyung, kesan pertama aku buruk banget tentang dia. Aku sempet berdoa semoga aku nggak akan pernah ketemu dia lagi setelah wisuda. Tapi kayaknya Tuhan garisin lingkaran takdir aku dan lingkaran takdir dia saling menyerempet, makanya aku harus berurusan terus sama dia.
"Di sini nggak pernah ada kuliah umum yang bahas tentang etika, ya? Mahasiswa kok ngomong sama dosen manggilnya 'Mas'. Nggak sopan."
Sekelebat memori hadir tentang pertemuan pertamaku dengan Pak Taehyung. Kalo waktu itu aku nolak buat bantuin bu Yola nempel kertas pengumuman, mungkin aku nggak bakalan ke kantor dan ketemu Pak Taehyung. Dan mungkin namaku nggak bakalan ditandain sama dia.
"Park Sooyoung, minus dua."
Aku terkekeh pelan. Kalau aja waktu itu aku bisa sedikit menahan emosi dan nggak membangkang, aku mungkin bisa menyelamatkan dua poin—ah, bahkan lima poinku yang berharga.
Iya, kalo aja pertemuan itu nggak pernah terjadi di masa lalu, mungkin aku nggak akan berurusan sama Pak Taehyung sampai sejauh ini. Sampai harus tau seluk beluk kehidupannya, sampai harus tau bagian paling rapuh dalam dirinya.
Detik ini, aku baru sadar akan satu hal.
Dari awal, akulah yang memulai semuanya.
Tatapanku jatuh pada paper bag kecil berwarna merah marun di tanganku. Isinya buku. Iya, cuma buku doang. Lebay banget emang. Buku sebiji doang pake segala dimasukin ke paper bag.
Yap, aku balik lagi ke toko buku buat cuci mata sekaligus cuci otak. Abis ketemu kak Yoona, kepala langsung berasa ngueng-ngueng gitu kayak abis naik kora-kora.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Logical Reasons Why Lecturer is Always Right
Fanfic"Pak, kenapa dosen selalu benar?" "Kalau salah mulu, mana bisa jadi dosen." Siapa yang menyangka jika nama Park Sooyoung tercantum dalam barisan nama mahasiswa fakultas Psikologi yang masuk ke dalam bimbingan dosen yang paling tidak ingin dia temui...