20; Tahu Bulat Digoreng Dadakan, Maknyus

6.8K 1.6K 180
                                    

Aku sadar apa yang kulakukan sekarang telah menyedot atensi seluruh orang yang sedang berlalu-lalang di sepanjang koridor.

Tapi aku nggak peduli.

Seperti Tsubasa Ozora yang pantang menyerah, aku tetap berlari meski diterpa hujan dan badai.

Karena aku benar-benar butuh penjelasan dari seseorang.

Seseorang yang namanya selalu kusebut di sepanjang doa yang senantiasa kupanjatkan ketika ingin memasuki ruang dosen.

Aku selalu menghormati keputusannya yang suka dadakan kayak tahu bulat...

          "Emang udah bikin janji sama saya kalau mau konsul hari ini?"

Tapi mengapa ia nggak pernah menunjukkan belas kasihnya padaku?

Sekarang, ia bahkan nggak mau repot-repot untuk menatapku yang tengah berdiri di depan mejanya barang sejenak saja.

          "M-Maaf Pak, saya bukan mau konsul."

           "Terus?"

Kuhirup oksigen sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya perlahan.

           "Saya cuma mau tanya Pak, jadwal seminar proposal yang di mading itu sudah fix atau masih ada perubahan Pak?"

          "Fix lah. Kalau belum fix ngapain dipajang di mading."

          "T-Tapi, kenapa ada nama saya Pak? Proposal saya 'kan belum jadi, Pak?"

Sekedar informasi saja, di kampusku jadwal seminar proposal dibagi menjadi beberapa gelombang. Dosen pembimbing biasanya mengajukan nama-nama mahasiswa yang sudah siap melakukan seminar di gelombang pertama dan gelombang kedua kepada dosen koordinator.

Bingung? Ya udah. Intinya, namaku masuk di kolom gelombang pertama yang akan dilaksanakan dua minggu yang akan datang.

Dua minggu lagi, guys...

Sedangkan proposalku belum siap untuk diseminarkan.

Sedetik kemudian, dosen nyebelin di depanku ini langsung mengarahkan perhatiannya padaku. Memandangku dengan tatapannya yang tajam setajam pedang dokkaebi.

          "Oh, kamu belum siap?"

Aku menggeleng. "Be-belum, Pak."

          "Terus mau kapan?"

Baru ingin mengutarakan, beliau sudah menyela.

          "Tahun depan? Tahun depannya lagi? Atau kapan?"

Ya Tuhan... bukan itu maksudku.

          "Saya ikut gelombang terakhir aja deh, Pak..."

          "Oh oke, saya catet nama kamu di gelombang terakhir."

Semangatku yang semula tenggelam tiba-tiba muncul kembali ke permukaan.

"—tahun depan bareng adik tingkat."

Lalu, tiba-tiba dihempaskan kembali sampai kerak bumi terdalam.

Kenapa Bapak kayaknya dendam sekali sama saya...

          "M-Maksud saya bukan gelombang terakhir yang itu, Pak."

Aku sadar nada bicaraku sekarang sudah agak meninggi dari biasanya.

Nggak tau.

Rasanya, lama-lama aku jadi kesel sama dia. Suka seenaknya. Kalau proposalku gagal ACC lagi memang dia mau tanggung jawab?

Dan kalian tahu? Proposal sudah harus sampai di tangan penguji satu minggu sebelum seminar.

Itu artinya waktuku hanya seminggu lagi untuk menyelesaikan semuanya.

Bayangkan betapa aku nggak siapnya masuk ke gelombang pertama.

          "Ya udah kamu minta tukeran sama temanmu yang di gelombang terakhir," ia mengalihkan tatapannya ke arah laptop lagi, "mau nggak mereka tukeran jadi gelombang pertama."

Sumpah.

Saran yang AMAT SANGAT tidak membantu.

Coba kalian bayangkan, jelas-jelas gelombang terakhir itu isinya mahasiswa yang proposalnya bahkan bab satunya saja masih meragukan. Terus, aku disuruh minta tukeran sama salah satu dari mereka untuk seminar duluan.

Jawabannya cuma satu: gila, yang bener aja loe?

          "Pak..."

Kujatuhkan lututku ke permukaan lantai yang dingin. Lututku mulai kebas karena berdiri terlalu lama di samping meja Pak Taehyung.

Aku jadi kayak anak yang lagi minta uang jajan sama ayahnya.

Bodo amat. Capek berdiri terus. Aku terlalu malas menggotong kursi ke depan mejanya Pak Taehyung.

Toh, aku nggak berniat lama-lama di sini.

          "P-Pak... seriusan saya belum siap. Belum selesai, Pak..." cicitku pelan.

          "Ya udah. Konsulin sekarang biar cepet selesai."

          Aku mengulum bibir bawahku, terdiam sejenak kemudian bersuara, "B-Belum dikerjain, Pak..."

Ya ampun, bab dua saja baru di ACC kemarin!

Pak Taehyung tiba-tiba menghentikan kegiatan mengetiknya lalu menghembuskan napasnya kasar.

          "Kerjain, terus konsulin. Saya nggak mau tau, hari ini saya mau liat bab tiga dan bab empat kamu."

Sekarang aku tahu.

Mengapa begitu banyak plagiator ulung dengan latar belakang mahasiswa.

Semuanya didasari dengan satu alasan:

Kepepet.













"Kok kayaknya saya pernah baca kata-kata ini ya."

"M-Masa sih, Pak? Mungkin Bapak déjà vu..."

→↓←

7 Logical Reasons Why Lecturer is Always RightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang