Aku menatap punggung lebar yang menyandang tas ransel di depanku seraya berpikir keras.
Sejak turun dari kereta, aku dan Pak Taehyung mendadak canggung.
Lebih tepatnya, aku sih yang canggung. Soalnya aku lihat ekspresi Pak Taehyung bener-bener biasa aja kayak nggak terjadi apa-apa.
Kayak apa yang beberapa jam lalu dia lakuin ke aku tuh nggak pernah terjadi.
Tapi sebagai orang yang tahu balas budi, aku nggak boleh ikutan diem juga. Paling nggak, aku harus berterimakasih padanya karena berkat dia, aku bisa duduk di saat perut lagi kram-kramnya.
Dengan membuang rasa canggung, aku berlari kecil menyusul Pak Taehyung yang sudah berjalan agak jauh di depanku, berusaha mensejajarkan langkah kakiku dengannya.
"Pak Taehyung. Terima kasih banyak, ya, Pak... yang tadi."
Pak Taehyung menoleh, menatapku sejenak sebelum akhirnya mengiyakan ucapan terima kasihku tanpa menghentikan langkahnya.
Walaupun bohong itu perbuatan yang nggak baik, paling nggak, aku harus tahu diri dan mengapresiasi kebaikan hati Pak Taehyung yang rela menambah daftar perbuatan dosanya demi aku.
Demi aku? Emang aku siapanya?
Duh, Sooyoung. Nggak usah ngelantur, deh. Masih siang.
"Kamu bawa motor?" tanya Pak Taehyung tiba-tiba. Membuat lamunanku tiba-tiba terpecah.
Aku menggeleng spontan. "Nggak, Pak."
"Terus ngapain jalan ke parkiran?"
"E-Eh?!"
Saking bingungnya harus ngapain, aku sampai nggak sadar kalau ternyata daritadi aku ngekorin Pak Taehyung sampai parkiran motor.
Duh, malunya.
"E-Eh iya, ya? Hehe, lupa. Keterusan jalannya, Pak...." Aku menggaruk kepalaku sambil cengengesan. Sumpah kayak anak ilang. "Y-Ya, ya udah, Pak. Saya balik lagi, ya, Pak. Sekali lagi terima kasih banyak. Hati-hati di jalan, ya, Pak!"
Setelah mengatakan hal tersebut, aku langsung berbalik sambil sibuk menetralisir rasa maluku.
Ya ampun, Sooyoung. Kapan sih kamu kelihatan pinter di depan Pak Taehyung?
Tapi baru beberapa langkah, Pak Taehyung memanggilku.
"Saya anterin pulang aja," tawarnya tiba-tiba. Membuatku langsung gelagapan.
"Emang Bapak nggak ada kerjaan?" Aku langsung menggelengkan kepalaku saat menyadari pemilihan kalimat yang baru saja kulontarkan rasanya kurang sopan. "M-Maksud saya, nggak usah, Pak. Takut ngerepotin. Bapak kan masih ada pekerjaan yang lebih penting," tolakku secara sopan.
"Nggak apa-apa. Sekalian saya mau ngambil laptop di rumah." Sambil mengenakan jaket kulit berwarna hitam kebanggaannya, ia menoleh ke arahku. "Kamu nggak ke mana-mana, 'kan? Habis ini?" tanyanya kemudian.
Nah, harusnya aku beralasan aja mau ke rumah temen dulu, ya? Tapi aku malah refleks gelengin kepala.
Ya udah, deh. Alamat aku nebeng Pak Taehyung untuk yang ke sekian kalinya.
Sebenernya aku yakin Pak Taehyung niatnya baik, mau bantuin aku. Secara kan aku tetangganya dia. Mamanya temenan akrab sama mamaku. Tapi, akunya aja yang nggak enak kalau ditebengin mulu sama Pak Taehyung.
Nggak enak hati.
Terus juga ditambah lagi gara-gara omongannya Pak Seokjin waktu itu, aku takut jadi baper beneran kalau kelamaan deket-deket sama Pak Taehyung.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Logical Reasons Why Lecturer is Always Right
Fanfiction"Pak, kenapa dosen selalu benar?" "Kalau salah mulu, mana bisa jadi dosen." Siapa yang menyangka jika nama Park Sooyoung tercantum dalam barisan nama mahasiswa fakultas Psikologi yang masuk ke dalam bimbingan dosen yang paling tidak ingin dia temui...