Dimensi Ketika Dia Datang

25 0 0
                                    

       Sebulan sudah Aku kembali ke Kota asalku, ku pikir setelah memberi kabar ke Erik waktu itu, kami akan kembali ke rutinitas masing-masing yang sebelum bertemu hanya menyapa jika ingin tahu kabar dari kedua belah pihak. Tidak ku sangka kami akan sangat intens berkomunikasi, bahkan kami selalu saling memberi kabar dari bangun tidur hingga ingin tidur lagi.

       Erik datang di waktu yang tepat, menyelamatkanku dari jurang nestapa setelah patah hati hebat yang ku alami, setidaknya lelaki kelahiran Enam Juli ini berhasil memapahku naik ketebing untuk mengobati luka yang ku alami selama aku terjatuh.

       Obrolan malam melalui telepon yang hampir setiap hari kami lakukan sebelum tidur menjadi rutinitas baruku dengan Erik semenjak akhir Desember lalu. Rasanya 24 jam terasa singkat untuk menghabiskan waktu berbincang dengannya, bahkan tanpa sadar kami pernah rela tidak tidur. Padahal besok paginya masing-masing harus bekerja.

       Awalnya Aku tidak mempercayai ini, tapi semua mengalir begitu saja, seperti kecanduan. Jika tidak mendengar suaranya satu malam saja rasanya aku kehilangan sebagian energi dalam tubuhku, maaf aku sedikit berlebihan, tapi Ku rasa ini hal yang wajar, seandainya Kamu menjadi Aku pun pasti melakukan hal yang sama. Sulit dijelaskan tapi menyenangkan saat dijalani.

        Apalagi Erik tak pernah absen untuk meneleponku, tak bisa dipungkiri betapa senangnya Aku melihat layar ponselku bertuliskan namanya, juga tertera foto dirinya.

        Aku teringat ketika Alya, sahabatku mengatakan bahwa Aku mulai jatuh cinta lagi pada Erik, lalu kemudian Aku menyangkalnya, bahkan sampai saat ini pun Aku tidak mengakuinya, karena Aku sendiripun tidak berani berasumsi, jika ini benar cinta, mungkin ada beberapa pertimbangan. Apakah Erik punya perasaan yang sama?

        “Kamu pasti bisa merasakan gimana sikap Erik ke Kamu Vi.” Komentar Alya, suatu ketika Aku mengutarakan tentang perasaanku.

        Alya memang benar, harusnya Aku bisa menilai dari cara Erik memperlakukanku selama ini, bukannya Aku tidak perasa tapi maklum saja lah Aku baru saja mengalami musim hujan badai yang memporak porandakan seluruh jagad rayaku, dan ada hal lain yang benar-benar menjadi pertimbangan yang teramat berat bagiku, Kamu tahu itu apa?

        Yap, Jarak!

        Tidak banyak pasangan yang menyanggupi untuk melakukan hubungan jarak jauh, ini akan terasa sulit dan Aku tidak begitu yakin akan gaya berpacaran yang membiarkan jarak dengan leluasa memisahkan mereka.

        “Loh, kamu kan belum coba Vi, kenapa takut duluan? Kalo kalian komitmen ingin serius, jarak bukan masalah besar.” Marsha menambahkan.

        Jujur saja, Aku tidak siap. Emm maksudku mungkin belum siap jika harus berjuang melawan jarak, ini akan terasa sangat berat.

        “Kalo Erik serius, dia akan datang kesini kok buat nemuin kamu.” Rinni menepuk pundakku.

        Benar saja, ingin rasanya aku memuji Rinni dengan segenap jiwaku ketika tebakannya tepat sasaran saat Erik memberitahuku bahwa dia akan menghabiskan masa cutinya untuk menemuiku minggu depan. Demi apa? Saat itu juga Aku melonjak kegirangan dan tentunya tidak sabar untuk bertemu dengan lelaki pemilik mata sipit itu secepatnya.

        Terjawablah sudah pertanyaanku ketika Erik mengatakan “See You Soon”. It’s such a special gift for me . Mulai saat itu mataku tidak pernah absen untuk selalu menatap mesra kalender, menunggu hari dimana aku akan melepas rinduku yang teramat dalam. Tentunya aku masih belum juga mengakui kalau aku sebenarnya sudah jatuh cinta lagi padanya, Iya, Dia! Erik Wijaya.

Lalu rasa nyaman ini

Menjadi candu sehingga

Dia selalu menjadi topik pembicaraan

Menarik antara Aku dengan Tuhanku

Kedua KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang