Pengkhianatan

36 0 0
                                    

Kala itu, aku sedang duduk dibalkon ketika diujung cakrawala matahari bergegas pamit untuk pergi, aku menyukai suasana seperti ini. Karena aku tau esok Ia pasti akan kembali. Kamu tau apa yang lebih aku suka dari senja dan segala isinya? DIA...

Dia yang kala itu datang untuk menyelamatkan hatiku.

Dia yang bersedia membantu menyusun kepingan puzzle hatiku.

Dia yang hadir untuk mewarnai duniaku.

Dia yang hadir memberiku cinta.

Dia yang hadir dengan banyak harapan.

Dia yang berjanji bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dia yang berkata tak akan pernah membuatku menangis.

Dia yang... Dia yang... Ah sial! Ada sesak terasa di dadaku, Oh tidak hanya sesak, tapi perih namun tak berdarah. Ini luka!

Kini... tak ada lagi 'Dia' ku. Seperti halnya sore itu jinggaku tak nampak, ditutup oleh kelabu, gelap dan ada rindu disitu. Aku berdoa dalam diamku, menunggu dia memberitahuku, menunggu dia kembali bawa terang dalam gelapku.

Aku merenung, bayangannya semakin nyata terlihat menjauh, semakin jauh kemudian hilang. Bersamaan dengan pesan singkatnya yang tertera pada layar handphone-ku yang ingin membuat darahku berhenti mengalir, jantungku ingin berhenti berdetak, dan hatiku seperti ingin meledak, pelupuk mataku sudah basah dan sembab, bibirku tak mampu lagi berucap.

"Maaf aku ingin putus, Thalia lebih membutuhkanku saat ini dan aku tidak bisa meninggalkannya, maaf sudah membuatmu kecewa."

Ku rasakan kiamat kecil dialami oleh hatiku. Thalia? Oh iya aku baru ingat, Thalia adalah mantan kekasih Erik yang tempo hari ku ceritakan, Kamu ingat?

Katanya, Thalia lebih membutuhkannya? Lalu bagaimana denganku, dia pikir aku tidak membutuhkannya? Jadi selama ini aku ini siapa baginya? Ku kira aku istimewa, ternyata tak hanya aku dihatinya, ada orang lain yang diizinkan masuk dan menggeser kedudukanku, sejak kapan orang itu menjadi penyusup dan lewat mana dia masuk?

Untukmu Erik Wijaya, yang terhitung sejak 28 April 2017 bukan lagi milikku, bibirku kelu saat mengatakan ini. Wajahku pucat seperti telah banyak kehilangan darah dari luka yang ku alami, inikah yang disebut orang-orang bahwa 'sakit tapi tak berdarah' padahal sangat jelas luka yang lebar menganga ditempat yang sama bahkan lebih parah dari sebelumnya, tak ku sangka kau menjatuhkanku lagi pada jurang nestapa. Untung lah aku masih bisa bertahan hidup pada dahan yang tidak begitu kokoh aku tersangkut, aku ingin tetap hidup tidak ingin mati sia-sia.

Untukmu Erik Wijaya, yang tak bisa ku genggam, tak cukupkah usahaku selama ini menunggu? Kurangkah waktuku untuk mendengarkan keluh kesahmu? Belum cukupkah adanya aku untuk menenangkanmu? Apa salahku? Kenapa harus ada dia?

Dia yang datang untuk merebutmu.

Dia yang datang menyusup ke celah-celah hatimu yang didalamnya sudah ada aku.

Dia yang tak mengerti bagaimana perasaanku.

Dia yang tak tau perjuanganku bertahan sekuat tenaga.

Dia yang tak mengerti bagaimana sulitnya menjaga hubungan ini.

Dia yang tak punya rasa bersalah hadir menawarkanmu sandaran di saat aku hanya bisa menjadi pendengar keluh kesahmu.

Dia yang hadir memberimu obat saat kau terserang demam, ketika aku hanya bisa menyuruhmu minum obat tapi dia sudah bertindak cepat.

Dia yang hadir saat kau perlu teman disampingmu, ketika aku hanya bisa menemanimu via suara.

Untukmu Erik Wijaya, yang tak bisa menepati janjimu.

Sudah ku temukan jawabannya sekarang, karena jarak.

Apa yang dihasilkan jarak selain cemas, rindu dan pengkhianatan? Memang tidak semua jarak seperti menghasilkan kata terakhir tapi ini yang ku alami, mengapa tak kau katakan saja alasanmu bahwa sebenarnya kaulah yang lebih membutuhkannya bukan malah sebaliknya.

Mengapa tak kau katakan bahwa kau bosan terpisah jarak?

Mengapa tak kau katakan jika kau tak mampu menyanggupi ini?

Mengapa tak kau katakan bahwa ini tidak akan baik-baik saja?

Mengapa tak kau katakan dari awal bahwa kau tidak yakin akan bertahan?

Mengapa tak kau katakan bahwa kau berubah pikiran untuk berkomitmen?

Mengapa tak kau katakan bahwa kau menyerah?

Mengapa... Mengapa... Mengapa ini kau lakukan padaku?

Ingin rasanya aku teriak di depanmu, aku kecewa sangat dalam. Aku terbaring lemas, dan bantalku basah, aku hampir mati tak bisa bernapas karena hidungku sesak, air mataku tak mau berhenti mengalir.

Kurasa aku tak akan bisa tidur sampai pagi, jam dinding menunjukkan pukul 02:00 pagi, ku telepon Erik untuk terakhir kali ku minta untuk menjelaskan semua pertanyaanku, tapi dia bungkam seribu bahasa. Tangisku sudah pecah, aku memang tak tau malu menangisi orang yang telah membuangku atau tak menginginkanku lagi. Dari seberang ku dengar nafas Erik sesak juga samar-samar terdengar isak, mungkinkah Erik menangis hingga tak ada satu huruf pun keluar dari mulutnya, untuk alasan apa dia menangis? Jelas-jelas yang tersakiti adalah aku, hatiku, batinku.

"Aku tak sanggup mengatakan apapun." Pesan singkat itu ku terima ketika telepon masih tersambung.

Sedangkan aku menginginkan penjelasan untuk terakhir kalinya sebelum semua kontak diputus hubungan, maksudku secepatnya pasti Erik akan menghilangkan jejakku dalam hidupnya karena dia sudah memilih bersama Thalia. Jelas saja aku kalah, mereka berada di satu kota yang sama lalu aku bisa apa? Aku ini siapa? Tak ada yang bisa ku perbuat. Aku mengaku kalah. Ku harap Thalia lebih baik dariku, apa sih aku ini? Sudah pasti lah Thalia lebih baik, buktinya Erik mampu berpindah haluan.

Sempat-sempatnya dia masih peduli padaku, katanya jaga diri baik-baik, jaga kesehatan, jangan sampai sakit. Dasar bodoh! Dia pikir sekarang aku sedang sehat? Justru dia penyebab utamanya. Aku harap ini adalah mimpi buruk dan aku ingin segera bangun tapi sayangnya aku sedang tidak tidur.




Pada akhirnya...

Jarak telah benar-benar menjauhkan kita

Kemudian hati kita.

Kedua KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang