Mulai Berbeda

21 0 0
                                    

Masuk bulan ke empat, Erik terlihat semakin sibuk dengan rutinitas barunya di bengkel, hobbynya tersalurkan. Tak apa, aku selalu mendukungnya asal itu baik untuknya dan membuat dia senang. Jam terbangnya semakin tinggi hingga saat malam menjelang tidur, tak ku dengar lagi suara renyahnya karena aku sudah tertidur lebih dulu ketika dia tiba dirumah, bukannya tak ku dengar lagi, lebih tepatnya jarang hanya beberapa kali dalam seminggu.

Masih sangat wajar untuk menghilangkan kejenuhan dalam hubungan jarak jauh, apalagi Erik adalah tipe lelaki yang akan mengutamakan hal yang berada di depan matanya, sementara dia sibuk dengan hobby barunya, aku sibuk mencari detail setiap gerak-gerik Erik yang mencurigakan, maksudku aku hanya berjaga-jaga saja, aku akan tetap hati-hati agar Erik tak merasa risih.

Tempo hari, Erik menceritakan tentang masalalu yang masih hadir dikehidupannya. Baiklah, aku tidak akan berpikiran macam-macam, aku yakin Erik tetap pada komitmennya, Erik menjaga hatinya. Tapi semakin aku memaksa diriku untuk tidak memikirkan hal itu, hatiku semakin mengarah kesitu mengingat kegiatan Erik yang sangat padat akhir-akhir ini yang memaksa kami semakin jarang saja melakukan obrolan malam sebelum tidur via telepon bahkan hanya sekedar mengucapkan 'selamat tidur' pun tak sempat Erik lakukan karena aku yang sudah tertidur sembari menunggunya memberi kabar bahwa dia sudah berada dirumah dengan selamat, sebenarnya tidurku pun tak akan nyenyak sebelum ada pesan masuk mengatakan, "Sayang aku sudah dirumah." Barulah tidurku tenang.

Pernah pada suatu hari ku ungkapkan padanya bahwa aku merindukannya, merindukan semua momen sebelum dia sesibuk ini, aku ingin dia kembali ada untukku, bukannya aku egois. Tidak! Aku hanya ingin Erik menyisihkan sedikit saja waktu untuk sekedar menanyakan kabarku, kegiatanku atau apapun yang menyangkut diriku seperti yang ku lakukan padanya. Saat itu Erik sangat sulit di tebak, membalas pesanku saja dalam hitungan jam. Jujur saja ya, aku mulai takut apa yang ada di pikiranku itu benar. Apakah kamu berpikiran yang sama denganku? Iya aku tahu, aku tidak boleh berasumsi negatif terhadapnya, tapi jika kamu menjadi aku pun akan terlintas pikiran negatif itu tanpa dminta.

Iya, tebakanmu benar. Dalam benakku, dalam relung hatiku yang paling dalam aku sangat takut jika Erik akan berbalik arah menuju masa lalunya, dan itu sangat mungkin terjadi mengingat mereka berdua berada pada kota yang sama yang membuat mereka leluasa untuk bertemu kapanpun waktu yang mereka inginkan. Walaupun seribu kali Erik berkata tidak, tapi instingku tak dapat ku abaikan begitu saja, resah, gelisah dan takut. Itulah yang berkecamuk memporak porandakan seluruh isi kepalaku.

Mungkinkah Erik jenuh karena kami berjauhan? Tapi ini bukan mauku, haruskah aku menyalahkan jarak? Haruskah aku menyalahkan waktu? Ketahuilah satu hal, di dunia ini tak ada pasangan kekasih yang ingin hidup berjauhan. Tapi apa yang bisa ku lakukan saat ini, ingin rasanya aku terbang menuju kota Tepian, sangat banyak yang ingin ku tanyakan terlebih tentang perasaannya padaku.

Ah pokoknya aku banyak takutnya, takut perasaannya menghilang, takut cintanya berkurang, takut rindunya tak ada lagi, takut jika akhirnya dia benar-benar menghilang. Sungguh tak bisa ku bayangkan jika aku harus ditendang lagi masuk ke dalam jurang setelah dia menawarkan diri untuk menolongku. Tolong jangan lakukan ini padaku, mataku mulai basah lagi mungkin bantal tidurku menjadi saksi bisu akan kerinduanku pada sosok lelaki berkulit putih itu. Sudah lah, mungkin besok atau lusa Erikku akan kembali, maksudku kembali untuk merindukanku setiap hari seperti sedia kala.







Sayangku,

Kembalilah, aku sangat rindu...

Kedua KaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang